“Bagi hasil ama siapa, yang petani siapa yang dapat bagi dananya ya pejabatnya,” celoteh seorang kawan di tempat kongkow taman milik Pemda Waykanan.
Kulihat kawan yang dari awal tidak memiliki rokok itu acap kali ngelorot rokok filter sahabatku. Mungkin kawan lagi buntu, atau emang sengaja rokok miliknya dikantongi, enak nikmati rokok kawan.
Ah, entahlah aku yang masih menikmati kopi pahitku, hanya nyimak saja oblolan kawan tantang bagi hasil.
“Itu lho dananya milyaran, katanya ada untuk infrastruktur. Tapi apa iya baru tahun 2023 ini dapatanya, tahun 2019, masa iya ga ada, dan tahun-tahun sebelumnya,” timpal sahabatku, yang belum sadar rokok dibungkusnya tinggal satu batang.
Rupanya terasa nikmat rokok dari sahabatku itu, asapnya yang mengebul membuntal awan, lalu hilang. Sambil menikmati kopi manis yang sudah agak dingin itu, kawan terus ngoceh.
“Ini ni, yang kita hisap, rokok ini ada cukainya, bahkan petani tembakau dapat dana bagi hasil (DBH) juga. Tapi tahun kemarin, cukup panggil petani yang entah tanam tembakau atau tidak, dikumpulkan sebanyak 20 orang, terus dikasih duit Rp200 ribu/orang,” ujar kawan, sambil menikmati rokoknya yang tinggal dikit lagi habis.
Aku nyimak aja, sambil menikmati kopi tanpa gula, nikmat. Walaupun rokok juga tinggal dua batang, tapi enak, karena tak mengelabui orang lain. Ah rupanya ada juga DBH Cukai rokok, dan DBH Perkebunan sawit.
“Kalau DBH sawit itu leih besar lagi katanya sampai tujuh milyaran gitu, informasikan gitu sih. Tapi entah duitnya nyelip kemana, kalau untuk infrastruktur, nah yang mana pula tahun ini,” kata sahabatku, sambil meraih bungkus rokoknya, yang ternyata tinggal sebatang.
Alangkah kagetnya dia, rokok yang tadinya masih 5 batang dan belum dinikmati sudah habis. Sama persis seperti mereka yang katanya, dapat cipratan untuk pengelolaan perkebunanannya, belum juga menikmati sudah tidak ada.
Rupanya cara itu bukan hanya masalah DBH, di pertanian juga ada, kelompok tani hanya atas nama saja. “Maksudmu masalah traktor bajak yang diambil anggota dewan, yang pernah ditawarkan sama salah satu ketua anggota kelompok untuk tanda tangan, nanti dapat dua juta, karena ga mau dia pakai orang lain, raib deh traktor itu ntah dimana,” timpal sahabatku, yang rupanya mendengar liuk bicaraku yang asal aja.
Aku mendengarkannya sambil mesem-mesem, alangkah kemaruknya manusia, ga jabatanya kadis ga dewan kok sama aja.
Halah sudalah, melihat sahabatku yang pusing karena rokoknya habis, langsung ngeloyor pergi akupun ikut pergi, sambil ngomong sama pedagang kopi suruh nyatat dulu, karena blum ada duit mau bayar. ***