“Dokter itu… sudah lama nggak kerja, tapi anggarannya masih jalan,” begitu celetoh kawan seraya berbisik tapi nyaring.
Aku dan empat kawanku yang duduk di bangku Panjang, sebuah kantin dekat RRI Waykanan. Namun, saat angin berhembus bau karbol bercampur peluh rakyat kecil yang antre menunggu nomor dipanggil. Ada yang menggigil, ada yang mengaduh.
Aku diam. Seperti biasa, suara-suara semacam itu datang bagai angin—tak terlihat, tapi terasa menampar logika.
“Ah, mungkin salah dengar,” batinku mencoba waras.
Segempita sahabatku yang duduk berhadapan denganku, segera menyambar.
“Kalau salah dengar, kenapa tiap tahun anggarannya tetap ada? Apa anggaran itu untuk menyembuhkan rakyat, atau untuk memelihara bayangan?,” kata dia, yang katanya pernah melihat data itu dari hasil pemeriksaan BPK Perwakilan Lampung.
Begitu rupanya ya. RSUD yang dibangun megah, bahkan pernak-pernik yang begatu antic, seperti antiknya anggarannya.
Aku mengenal satu spesies tenaga medis yang tak ditemukan di fakultas kedokteran mana pun “ dokter gaib”. Namanya hidup dalam dokumen, tapi jasadnya entah di mana. Ruangannya kosong, tapi rekeningnya tidak. Gajinya lancar, tapi jiwanya entah peduli atau tidak.
“Kok dibiarkan ya. Nah, apa mungkin ini ladang empuk, pengelolanya,” gumamku, empuk kayak anggaran kosong, tulisan tipu-tipu seperti Dinas Kesehatan di daerahku, katanya ada mobil ambulance dari Korea Selatan. Katanya BBNKB nya fiktif, nah entah dengan mobilnya?.
Karena yang sakit bukan cuma pasien. Sistemnya juga sudah demam tinggi. Dan rupanya, korupsi bisa lebih kebal dari virus apa pun.
Aku menatap ke depan, pandanganku tertuju di sebuah hamparan, tepat di atasnya berdiri megah sebuah Gedung, yang agak menjulang.
Deretan motor dan mobil berjejal di parkiran. Ada punguta yang di Kelola pihak ketiga, katanya. Tiketnya selembar kecil, tapi jejak uangnya entah ke mana. Tapi tiap tahun, rumah sakit mengaku piutang belum dibayar.
Lucu juga. Rumah sakit berutang kepada pengelola parkir? Atau pengelola parkir yang berutang tapi dibiarkan saja?
“Bukan parkirnya yang berhantu. Tapi pengelolanya yang pandai menghilang, seolah bisa tak terlihat oleh aturan dan hukum,” seloroh kawan, sembari nyruput es teh yang terasa dingin di bibir, dan menyeruak sampai keperut.
Seperti dinginnya,
Lalu rakyat datang ke sini bukan untuk mencari sehat, tapi mencari sisa-sisa keadilan yang remuk digilas sistem.
Di RSUD, penyembuhan hanya milik mereka yang kebetulan tak jadi bahan permainan. Sementara rakyat, tak hanya dipungut biaya, tapi juga dipungut harapannya.
Aku berdiri, meninggalkan bangku itu. Di pintu keluar, aku mendengar seorang ibu tua bertanya pada petugas, “Bu, dokternya belum datang ya?”
Petugas itu menjawab pelan, “Sudah pindah, Bu. Tapi masih tercatat di daftar.”
Aku mengangguk sendiri.
“Tercatat di daftar. Tapi tak tercatat dalam nurani.”
Daerahku, mungkin sakitmu bukan pada tubuh. Tapi pada hati yang sudah terlalu lama menoleransi kegelapan.











