“Penjahat semua, tipu Masyarakat. Ini semua sudah terstruktur,” celoteh kawan di warung pecel depan pasar Karya Tiga, Pakuan Ratu, Waykanan.
Aku hanya bisa nyimak, kemana arah kawan ini bercerita. Sambil menikmati kopi pahitku, sesekali mataku melirik celoteh kawan.
“Itukan di Kelola Koprasi, lah selama ini yang menikmati hanya segelintir orang kalau gitu. Memperkaya Perusahaan yang Kerjasama dengan dengan koprasi,” timpal seorang sahabat yang lagi asyik menikmati pecel, tanpa menolehkan mukanya kearah lawan bicara.
Seperti para pengurus koprasi dan pejabat setempat, yang tak mau noleh ke petani sawit yang di jadikan plasma, yang selama 22 tahun menjerit, dan taka tahu harus mengadu kemana.
“Masa iya satu hektar hanya kebagian Rp50 ribu sampai Rp150 ribu, malah ada yang hanya dapat Rp5000, ini apa namanya. Malah belum lama ini, karena petani plasma sawit mau bergerak, seorang kades mengutus anak buahnya ngidari kertas, Patani suruh tanda tangan, seolah-olah mereka meminta adanya perpanjangan kontrak jadi plasma,” kata kawan.
Nah, aku baru nyambung, rupanya ini tentang Plasma sawit, tentang KUD Karya Makmur, tentang PT BNIL, tho. Larinya kesana cerita kawan ini.
“Dulu pernah ngadu sampai ke Pusat sana, tapi hasilnya no, tetap petani plasma yang sengsara itu. Tidak ada perbahan, padahal ada yang sampai ninggal tertabrak mobil, waktu ngadu ke Jakarta itu. Hasilnya mana,” kata kawan, sambil makan pecel, yang bubunya terlihat kental betul, memang empunya yang buat ini sangat pendai.
Ya, kayak kentalnya permainan pengurus koperasi, perusahaan dan penguasa, hingga susah di urai. Kental dan kusut, para petani plasma di biarkan mati perlahan. Jika hanya hidup mereka mengandalkan kebun sawit yang ikut Plasma, maka anak-anak mereka tidak pernah mampu untuk sekolah.
“Lha ini yang heran lagi, ada setiap panen ada dana sebesar 10%-15% untuk kampung. Tapi duitnya sampai sekarang kemana, apa khusus untuk kepala kampungnya dan Penguasa lain, aku sendiri bingung mikirnya,” ujar sahabat, yang terlaht sejak tadi mainkan sendok garbunya, tidak jelas apa yang mau di cucuk.
Kayak nasib petani Plasma sawit yang mau ngadukan nasib mereka kemana, sedangkan leher mereka sudah seperti di cucuk tak berdarah.
“Kayak gini kok masih ada yang komen, “Kok Mau”. Sedih dengarnya. Emangnya semudah ngupas mangga mau ambil kebun sawit yng sudah jadi plasma, emangnya mudah ngambil sertifikat tanah mereka,” ujarnya, lalu terdiam sambil menghisap rokonya filternya.
Kayak terdiamnya aparatur penegak hukum atau pemangku jabatan tertinggi, justru mengingat peristiwa lalu dengan berbagai alasan memback up cukong-cukong dengan mengadakan pam dan perkebunan.
Aku berfikir, ini akan terjadi lagi, jika warga bersikeras mencari keadilan. Tapi yah, semua karena duit atau sudah dapat enaknya.
Udah ah, aku pamit pulang duluan dan kutinggalkan perbicangan teman dan sahabatku, seperti biasa aku menoel sahabatku, minta di bayari.