Karena suaramu dah dibeli,” celoteh seorang kawan di warung kopi pojok pasar.
kental, kayaknya pahit. Sepahit kebingungan para pemilih mencari mana yang
sebetulnya bisa disebut Legislator. “Ah ga semua begitu, walaupun banyak yang
seperti itu. Selamat bagi Legislator yang duduk karena murni suara rakyat,
bukan suara uang,” timpal kawan yang lain, sambil nyedot rokok kreteknya.
yang tersebar keudara, itupun langsung hilang.
para legislatornya, ternyata lebih banyak terhisap sendiri kedalam. “Peduli
pada rakyat, tapi rakyat yang mana. Keluarga meraka juga rakyat lho,” ujar
kawan, yang sejak awal terus berceloteh.
ga hujat siapapun, ini suara rakyat. Aku ini rakyat sinilah. Wah tapi katanya ada yang kena gap (tangkap),
saat bagi-bagi angpao, tapi diseleaikan karena ngucurin angpao yang lebih besar
sama yang ngegap,” ujar kawan.
kesempatan untuk dapat angpao besar, karena kalau dah jadi ga mungkin inget
lag, lah jendela kaca mobil nya aja ditutup, cukup klakson aja. “Waduh, gitu
ya. Lah ya udah, ntar akan mencuat sendiri. Buktinya yang warga kampungnya
sudah dihina mau makan kotoran, masih banyak
yang milih dia. Katanya duit dikit
aja mau, lah kotranku aja dimakan kok, gitu dia bilang,” jawab kawan dengan
nada kalemnya.
suara “Duit”, karena suaramu sudah dibeli. “Emang gak semua, kalau Cuma ala
kadarnya buat makan, itu biasalah. Namanya berbagi rezki, tapi harusnya jangan
kalau pasa ada maunya, pasa kemauanya sudah didapat, mbok ya inget,” kata sahabat
yang baru datang, nyelonong langsung ngoceh.
sama empuknya. Ruangannya ber AC, uang resesnya gedenya sama. Jadi sulit
membedakan. Bedanya ya dari gaya kali ya. Biarkan saja, kelak akan terungkap. Buat sahabat yang belum berhasil, ini sebuah
pertarungan dan jadikanlah pengalaman. Salam Demokrasi