Kakam “Dadakan” Yang Arogan

Kakam “Dadakan” Yang Arogan
“Katanya kalau tidak
mampu bayar suruh mundur,” celoteh seorang sahabat yang sore itu bertemu aku
di depan sebuah sekolah menengah pertama. Tempat dimana Bendahara BOS jadi
Sekretaris kampung, sekalian jadi Penguasa kampung setelah kepala kampungnya
terbui.
Aku tersenyum mendengar
celoteh sahabat itu, aku juga bertanya-tanya mundur dari apa maksudnya. Ternyata
dengan diamku itu membuat sahabatku terus bercerita. Ini tentang pembuatan
sertifikat prona. Begitu srampang kawan yang duduk diatas jok motor sambil
menarik sebatang rokok dari bungkusnya.
Kata sahabatku itu,
dengan gayanya yang arogan kepada masyarakatnya menghentak nada, jika tidak
mampu  mundur aja, dalam artian ga usah
buat sertifikat tanah yang digelar dalam ajang korupsi berjamaah yang kata
pejabat intelek namanya Prona.
Dengan seloroh kawan itu,
aku baru conect, dan ingin tahu berapa dana yang di serahkan dari warga kepada
kepala kampung dadakan itu, ternyata Rp1.000.000 saja, dengan gaya bak proyek
tender pembayaranya memakai termin. Uang muka sebelum pengukuran Rp100 ribu,
setelah pengukuran berjalan Rp300 ribu. “Awalnya 300 ribu, eh ini lain lagi,
malah Rp500 ribu,” kata sahabat itu.
Jika sertifikat telah
diterima warga maka tinggal bayar termin terakhir. Tak perlu kwitansi hanya
selembar coretan dengan tulisan “titipan” . Warga nitip duit tempat
kepala kampung dadakan, melalui kepala dusun, terus suatu saat bisa diminta
lagi kan, “ tanyaku pada sahabat.
Sahabatku itu hanya
tertawa kecil, sambil bercerita arogansi lain sang kakam dadakan itu. Kabar
kawanku itu, dana ADD entah buat apa, warga yang saat itu butuh satu sak semen
untuk sekedar tambahan buat gorong-gorong di kampung itu, spontan di tolak oleh
kakam,  dengan bahasa “kalau butuh semen
beli sendiri”.
Aku langsung diam, dan
icak-icak mencet telpon genggam bututku, otakku puyeng mikirin bahasa kakam
itu. Malah aku lupa, kampung mana yang dimaksud sahabatku itu.
Dengan santai seorang
kawan Nyeletuk, “kalau ga salah itu
Jukubatu, Banjit, gitu namanya”.

Kembali aku terdiam,
dengan bahasa klimakmu aku langsung pamit, takut obrolan tak berujung, dan
kakam dadakan semakin mendadak raja. Jika terlalu banyak dikarbit, takutnya
nanti meledak, dan tabur tak bertuan. ****
Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

error: Berita Milik GNM Group