Ada Cukongkah? Dibalik “Lolos” Batubara

Ada Cukongkah? Dibalik “Lolos” Batubaru

Ada apa dibalik cerita kelolosan itu, nurani atau apa ada sesuatu,” celoteh kawan kepadaku dipinggir jalan lintas Sumatera, yang dihiasi debu-debu damp truk batubara.
Aku yang mendengar ocehan kawan itu hanya berusaha menyimak, tapi seorang sahabat segera menimpal dengan nada yang guyonan. “Ga usah berprasangka, itukan sebuah kebaikan,” jawab seorang sahabat.
Rupanya kawan yang mendapat jawaban itu segera menimpal ulang, jelas sekali nadanya sedikit tinggi. Seperti marahnya masyarakat, aktivis dan segelintir anggota dewan kepada pucuk pemimpin berpangkat yang meloloskan ratusan kendaraan batubara itu.
“Lah besok-besok kalau saudaraku yang sopir truk itu lewat terus ada kesalahan sedikit, demi hati nurani tadi harus diloloskan jugalah, karena saudaraku itukan Cuma sopir juga. Jadi agak adail kayaknya,” sergak seorang teman yang ngomong sambil menghisap sebatang rokoknya. Seperti nikmat sekali, seperti nikmatnya mereka yang berkuasa dan memiliki segalanya, sehingga apapun bisa diperbuatnya.
Tidak lama berselang dari obrolan yang ngalor ngidul itu, datang seorang sahabat yang lama sudah tidak bertemu. Menenteng plastik warna hitam berisi batu kerikil.
Aku yang melihatnya segara kusapa, tapi agak merinding juga, takut salah sasaran amuk sahabat ini. “Jangan pakai kekerasan gitu dunk, pakai aja cara-cara mereka, alus tapi gigitnya gede,” kataku sambil tersenyum.
Rupanya sahabat yang mendengar bicaraku itu malah melotot. “Wah lu kan ga tahu gimana capeknya kawan-kawan kita yang standbye selalu di posko, biar mobil-mobil cukong itu tidak lewat,” kata dia, sedikit marah.
Aku yang mendapat jawaban itu hanya terdiam, termasuk kawan, teman dan sahabat yang sejak semula duduk dipinggir jalan lintas bersamaku.
Mungkin diam kami sama seperti mereka yang tiba-tiba diam karena sesuatu. “Ah sesuatu itu bisa karena dapat atau karena sebodo teuing,” gumamku dalam hati.
Seperti setatemen seorang kawan yang sekarang duduk di nomor dua puncuk pimpinan wakil rakyat, kalau yang sekarang biarkan saja, tapi jika nanti terulang maka rakyat diperintahkan turun.
“Hem, bahasa yang sering kudengar dulu, deplomatik, enteng dan menghibur. Itukan nanti, yang waktunya entah kapan. Padahal warga inginnya sekarang,” kata temanku tertawa lebar.
Obrolan itu makin tidak menjurus, itu semua karena pengaruh cukong yang datang terakhir membawa tahu goreng, kawan langsung menyantapnya. Lapar atau memang hobi, beda-beda tipis.
Yang jelas, kekecewaan saudara-saudaraku itu mungkin berkepanjangan, tapi tidak bisa berbuat banyak. Tinggal tunggu apa cerita terakhirnya nanti.***
Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

error: Berita Milik GNM Group