“Milyaran tunggakan PBB di Waykanan,nah kemana menghilangnya
uang itu. Kalau masyarakat ga mungkin ga bayar,” celoteh seorang kawan di gardu ronda, sambil
nunggu bakaran singkong matang.
Aku laju teringat, saat itu kira-kira dua tahun silam, di
kampungku, pajak tidak terbayar mencapai puluhan juta rupiah, bahkan hampir 100
persen nunggak. Ternyata setelah di telusuri, duit itu dua pejabat penting
kampung yang pakai. Wuih, enak ya, masyarakat dah bayar, tapi ga disetor.
“Nah perkaranya sekarang ini dana itu dah dipulangin apa
belum. Atau tagihan yang baru dari masayarakat untuk nutup yang lama, jadi ya
utang lagi,” jawab seoarang sahabat, saraya meraih sengkong dari sekam api, dan
tak sengaja terlempar, karena panasnya terasa ditangan.
Seperti permainan panas para pengemplang pajak. Masyarakat saat
struk pajak turun dari kabupaten segera dikejar-kejar dan harus segera bayar. Mereka
(Warga) langsung bayar, kalau ga lewat pak kakam ya lewat perangkatnya. Jadi ga
ada istilah tertunggak PBB di masyarakat itu.
“Dalam satu kampung itu, paling hanya 4 sampai 5 persen aja
masayarakat yang belum bayar, itupun paling lama tahun berikutnya dibayar. Kalau
sampai sekarang kok jumlahnya milyaran, nah satu kampung itu nunggak berapa
puluh juta,” ujar seorang sahabat, seraya mengunyah dan menelan singkong hangatnya.
Katanya sudah ada petugas penagihanya, nah kalau emang dah
ditangan penagih PBB berarti uang itu mandeg dimana. “Fantastis” begitu sebuah
judul berita yang ditulis Undho Fikri, disebuah media harian.
“Masyakat tidak diberi sosialisasi tentang bagaimana
membayar PBB secara mandiri. Jadi beginilah yang terjadi, bahkan ada seorang
saudara yang bayar dua kali PBB nya. Karena tidak disetor dari kaampung. ke
kampung sudah bayar, nah pas buat surat penting di sebuah dinas, karena syaratnya
harus lunas PBB, ternyata belum tersetor dari kampung, jadi harus bayar lagi,”
kata kawan kawannya kawanku.
Tak perlu ditanyakan, sebetulnya semua sudah paham dimana
mandegnya uang PBB itu, tapi dibuat ribet ga dipahami, muter-muter, biar
lama-lama kasus ini hilang ditelan kepiawaian pemangku jabatan.
“Siapa yang bertanggungjawab, tapi biarlah toh dapat WTP
terus, ga ngaruh juga kali ya,” celotehku.
Ah sudahlah, biarkan mereka yang menikmati berfikir atau
tertawa terbahak. ***