Sekolahku Jauh, Sungai Kuseberangi dan Puluhan Kilo Kutempuh

Sekolahku Jauh, Sungai Kuseberangi dan Puluhan Kilo Kutempuh

gentamerah.com

Tanggamus – Wajahnya
tetap semringah, langkah kakinya yang kecil menapak jelas menelusuri tepian
sungai. Jelas sekali, keinginan mereka, sekolah dengan jarak yang mudah
dijangkau. Tapi ternyata semua itu hanya sebuah harapan bagi anak di sejumlah
pekon (desa) terpencil di Kecamatan Pematangsawa, Kabupaten Tanggamus, Provinsi
Lampung.
Faktor sulitnya ekonomi,
buruknya infrastruktur dan jauhnya jarak tempuh gedung sekolah, akhirnya
menjadi alasan utama ratusan anak-anak diwilyah itu memilih putus sekolah.
Semula dibenak para orang
tua meraka dengan adanya program sekolah gratis, bisa dengan mudah meraih
cita-cita untuk anak-anaknya. Namun,  ternyata semua itu masih menjadi angan-angan
semu,  bagi anak-anak disejumlah pekon
(desa)  di Kecamatan Pematangsawa,
Kabupaten Tanggamus.
Ratusan anak-anak usia
sekolah dari Pekon Pesanguan, sebagian di Pekon Way Nipah, Teluk Brak, Karang
Brak, Tirom, Kaurgading, Asahan, Martanda, Tampang Muda dan  Tampang Tukha, harus rela berjalan kaki
hingga kiloan meter, bahkan menyeberangi sungai, dan juga pantai.
Kondisi itu, memaksa
mereka, yang tidak mampu menjalaninya akhirnya memilih putus sekolah. “Jangankan
untuk bersekolah, bisa mencukupi kebutuhan makan sehari hari saja, terasa sudah
sangat melegakan,” ujar salah seorang wali murid.
Putus Sekolah, Membantu Orang Tua Atawa Nikah ?
Tidak ada pilihan, atau
keterpaksaan wajib sekolah itu hanya khayalan dibenak mereka. Anak-anak di
Pekon Teluk Berak misalnya, sejumlah anak putus sekolah. Ada yang sejak kelas
satu SMP  sudah keluar, tetapi rata rata
saat lulus SD tak bisa melanjutkan ke jenjang SMP sederajat. Mereka kemudian
banyak mengisi waktunya dengan membantu pekerjaan orang tua di ladang  atau merawat hewan ternak.
Bagi yang anak perempuan,
selain membantu pekerjaan ibu, mereka umumnya menunggu “
dilamar” atau disunting untuk kemudian nikah diusia dini. Kondisi
ini menyebabkan angka perceraian sangat tinggi.
Sigit (30), salah satu
warga Pekon Teluk Berak,  mengakui anak
putus sekolah disebabkan faktor kesulitan ekonomi. “Faktor ekonomi
melatarbelakangi banyak anak-anak putus sekolah, karena jangan kan untuk biaya sekolah, untuk makan
sehar-hari saja sulit. Ya,  memang sekolah sudah gratis, tetapi perlu uang
juga untuk membeli seragam, alat sekolah, belanja dan lain sebagainya,” kata
dia kepada gentamerah.com beberapa waktu lalu.
Sekolah Nyaman Hanya di Pekon Induk
Panroyen, seorang aktivis
peduli pendidikan Tanggamus yang beberapa kali mengunjungi desa-desa terpencil
di Kecamatan Pematangsawa, membenarkan tingginya angka putus sekolah dan
pernikahan dini diwilayah yang berbatasan dengan hutan TNBBS dan perairan Teluk
Semaka ini.
Menurutnya,  sarana pendidikan dasar hanya terdapat di
pekon induk. Sementara warga yang mayoritas menggantungkan hidupnya dari
pertanian tinggal di dusun-dusun terpencil yang jaraknya puluhan kilometer dari
pekon induk. Sedangkan untuk tingkat Sekolah Menengah Pertama anak-anak harus
menempuh jarak yang lebih jauh lagi. Karena diwilayah itu hanya ada tiga SMP
yaitu di Pekon Pesanguan berupa SMP Satu Atap, kemudian di Pekon Karangberak
dan Pekon Tampang.
Untuk mencapai sekolah,
memerlukan perjuangan berat. Mereka harus menempuh perjalanan puluhan kilometer
selama berjam-jam, belum lagi kondisi jalan yang masih tanah  dengan hiasan kubangan air dan lumpur.
“Bila hujan turun,
anak-anak buka baju dan sepatu. Bahkan banyak yang tidak sekolah. Mereka tiba
disekolah dengan letih, akibatnya sulit menerima pelajaran,” kata Panroyen.
gentamerah.com bersama Panroyen beberapa waktu
pernah mengikuti perjalanan anak-anak menempuh perjalanan kesekolah
menggambarkan, mendaki, licin dan becek. Melewati semak, hutan belantara,
menapaki jalan bekas binatang buas seperti gajah, dan babi hutan adalah
perjuangan keseharian anak-anak diwilayah ini. 
Sepatu mereka tidak bisa
melindungi kaki mereka sepenuhnya, robek disana-sini sehingga jemari kaki
terlihat walau terbungkus oleh sepatu.
Kadang mereka harus
menyeberangi sungai yang dalam, muara yang sedang pasang. Melompati bukit
sebagai jalan alternatif yang lebih dekat dari jalan yang lebih enak untuk
dipakai sebagai jalan. Dalam usia mereka yang masih sangat belia, harus
berjalan selama kurang lebih dua jam, berangkat pagi sekitar jam lima untuk
mengejar waktu dimulainya belajar-mengajar di sekolah. Cukup bisa terbayang jam
mereka memulai aktivitas untuk bersiap ke sekolah.
Belum lagi ketika cuaca
tidak mendukung. Hujan turun sebagai sesuatu yang menakutkan, sebagai
penghalang langkah mereka untuk terus sampai di sekolah dan pulang kembali ke
rumah. Karena mereka juga harus melewati sungai yang pada saat hujan aliran
menjadi deras.
Dan terkadang jalan yang
mereka lalui terpotong oleh aliran air hujan. Melewati pematang sawah, dengan
kilat yang menyambar. Belum lagi ketika harus mengikuti kegiatan ekstra di
sekolah usai waktu pelajaran. Mereka harus pulang melewati bukit dengan
berkawan gelap.
“Perjuangan mereka untuk
sekolah sungguh luar biasa. Tetapi akhirnya mereka menyerah, karena kaki kecil
mereka tidak sanggup lagi menempuh perjalanan. Apalagi ketika merelka beranjak
dewasa, harus menempuh pendidikan ke Kotaagung, dengan biaya cukup tinggi dan
menempuh perjalanan laut hingga empat jam,” ujar Panroyen.
Penroyen mendesak
pemerintah lebih memacu mengembangkan sekolah satu atap disetiap SD yang ada
diwilayah tersebut, sehingga tamatan SD bias melanjutkan ke tingkat SMP.
“Selain itu pembangunan infrastruktur baik jalan dan jembatan adalah sangat
perlu, agar terbuka akses mereka untuk menuntut ilmu, serta memudahkan warga
menjual hasil bumi mereka yang akan menaikan perekonomian mereka,” kata dia.

Penulis : Sayuti Rusdi
 Editor : Seno
Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

error: Berita Milik GNM Group