“Itu sudah menjadi agenda, bukan karena sebuah ketakutan
diri sendiri. Tetapi lebih dari menghindari jeratan gajah yang memang sangat
piawai,” celoteh seorang kawan, sambil lesehan menikmati secangkir kopi hitam
pekat, di sebuah ruang belakang kantor media, tepat didepan pintu gerbang
kantor Bupati Waykanan.
Aku, kawan lain, dan mereka masih diam dan sesekali
mencengiskan bibir, yang sesekali menyedot asap dari sebatang rokok filter bermerk
lama. Arahnya masih samar-samar kemana kawan ini membawa celotehnya.
“Berarti dah terstruktur dan massif ya,” timpal kawan yang
duduk disebelahku sambal tertawa lebar, tanpa tahu makna yang diucapkannya.
Seperti ketidak tahuan kami, mereka dan dia, dimana
keberadaan seorang kepala OPD yang nyaris tak lagi terlihat “Ngantor”. Nah, apa
ini ya maksud celoteh kawan itu. Ah entahlah, aku tak berani menebak-nebak,
takut salah, apalagi sudah berbau-bau gajah, yang tentunya sangat besar dan
kuat.
“Aii, kamu orang ini jangan pura-pura ga tahulah. Tapi memang
kalau dilihat selama ini, satu dinas itu, kepalanya memang berilmu tinggi, tiba-tiba
hilang aja,” kata kawan itu lagi, dengan nada agak tinggi, bahkan mimik mukanya
mulai terlihat srius.
Nah, ternyata bener, gumamku lirih. “Tapi Lu yang beruntung
kan, tidak seperti mereka malah kehilangan rupiahnya, nah Lu malah dapat
rupiah,” celetukku, sekenanya, terbayang ucapan kawan itu diawal pembicaraan.
Gimana gak kubilang kawan itu paling beruntung, dengan
kepiawainya justru Pak Kadis bisa keluaran lembaran merah-merah yang jumlahnya
lumayan dari kantongnya.
“Ah bisa aja Lu ini Mas. Kan itu pakai cara, mau berbicara
dapat proyek, entah kapan mau dikasih. Lah yang sudah setor aja malah pada
tekor. Apalagi sekarang, kemana mereka mau nagihnya. Padahal semua itu sebuah
tradisi yang harus dijabani, untuk menghilangkan jati diri, dari gajah yang
ditakutkan masuk bui,” kata dia, dengan gaya Bahasa yang seolah paham rentetan
cerita di OPD danger alias bahaya itu. Asap rokoknya yang masih tersumpal di mulutnya
disusul dengan seruputan kopi hangat, dan terlihat nikmat, bisa meneguknya.
Seperti nikmatnya sebuah jabatan, yang ternyata hanya dijadikan
boneka kecil sebagai bagian dari sebuah permainan kekuasaan.
“Yang ngatur itu berarti bukan Kepala OPD ya, justru dia
diatur untuk semua kegiatanya, termasuk masukan cis-cis,” kata seorang rekan,
yang nyusul duduk mendekatiku, sambal tanya kabarku,meski hanya bas abasi, dan
aku tahu itu.
Yah, seperti basa-basinya calon penguasa saat berkehendak
duduki kursi kekuasaan, banyak janji, bahkan merangkul orang tak kenalpun
dijadikan tradisi. Kalua sudah jadi, ya bodo amat dengan keringat orang lain
yang dijanjikan, bahkan kenalpun tak lagi. Nomoir WA nya ganti, atau memang sengaja
memblokirnya orang-orang yang dianggapnya sebagai pengemis, padahal ikut peran
saat ambisi mereka menduduki kursi.
“Ah sudahlah, ayo dah siang ini, beli makan nasi bungkus
jadilah. Lauknya telur dadar yang agak murah juga,” ajakku, sambal melirik
calon ketua sebuah organisasi profesi, dengan harapan dibandari. ***