tergesser kita.” Begitu celoteh kawan menirukan sebuah chating disebuah gorup
para pejabat disalah satu daerah.
butapi mau kepedilianya sama rakyat nihil, jabatan itu akan tetap aman. Waw
luar biasa sebuah statemen yang muncul demi pertahanan jabatan dan empuknya pendapatan.
Bupati itu yang penting. Sulit aku menterjemahkan semua ini, seperti sulitnya
aku menangkap asap yang terus mengepul dari hisapan rokok filterku. Tapi saat
habis rokokku, asap itupun musnah. Inilah yang akan terjadi pada pejabat
penjilat, saat jabatan pohonnya tumbang, selesaipun sudah dia.
Menantilah saja, atau mati sudah. “Percuma mengeluh kalau gitu. Masyarakat itu hanya Obyek mencari kekuasaan. Setelah
tercapai, penjilat yang dienakan,” timpal sahabatku, yang kutahu saat ini duduk
dikursi Dewan sebuah daerah.
dengan gedung lumayan megah. Tapi, kropos dalam pelayanannya. “Biarlah dia aman
karena dekat sama bupati dan kadis kesehatan. Tunggu kalau massa sudah
memuncak,” ujar sahabat itu.
tidak lagi mendapatkan pelayanan kesehatan yang maksimal. Bagaimana tidak, jika
sebuah tempat kesehatan terdekat yang
diharapkan mampu memberikan pelayanan tercepat, justru mengabaikannya. “Lah
kalau istri mantan pejabat di sini aja yang berobat diseperti itukan, gimana
masayarakat kecil. Ini hal yang luar biasa,” timpal kawan yang sejak tadi diam
asyik menikmati bakwan goreng pasang.
sanggup ditelan. Ah, seperti warganya
yang harus menikmati panasnya hati, karena bertahannya pejabat yang tak
bersahabat. “Kasihan” gumamku, tapi siapa aku yang hanya bisa berucap itu.
Rupanya seorang kewan mencoba menelponku dengan nomor cantiknya. Aku paham dia
mau nagih hutang, heemm, aku lupa kalau ada hutang. Sudah seperti pejabat yang
mulai lupa singgahsananya diperoleh dari mereka yang kroco dan dekil. Bukan
dari pejabat penjilat.***