“Banyak yang menjerit, tanpa suara. Tak perlu prestasi atau
perjuangan menegakan pohon, olah kata yang bagus, beres semua,” celoteh seoarang kawan, disebuah warung kecil,
dipinggir ledeng area Baradatu.
Aku dengarkan dengan serius celoteh kawan itu, karena aku
tak paham kemana arah celotehan diwarung pecel, tempat makan bukan lefel
pajabat,
“Ra sah dipikir, dari dulu juga gitu. You ada uang, sanggup
setoran, atau waktu mau tanam pohon itu sangat dilihat jelas berapa uang You
yang dikuluarkan buat pupuk, mungkin ya itu orang yang bisa metik buahnya,”
sahut seorang kawan, sambil ngunyah tahu bunting yang agak panas, dicrotin saos
pedas pula, hingga menggapnya sambil ngoceh, seperti mereka hatinya mulai penas
karena melihat sekeliling dilingkari saudaranya pejabat tinggi sekeli yang juga
akhirnya menduduki jabatan empuk.
Katanya sih dulu biasa-biasa aja, tapi pandai mengolah kata,
dan siap ribuan pundi. “Nah, benerkan, yang betul itu berjuang artinya berujung
uang. Beres lah itu, jangan pada ngeyel lah, apalagi terus down, biarkan saja
semua terjadi, “ sahut kawannya sahabatku, yang duduk manis disebelahku, sambil
nyeruput kopi pahit, tapi kulihat sangat dinikmati.
Wah, mereka semakin seru kayaknya, seperti serunya perjuangan
yang pernah kusaksikan kala itu, mereka meringis, menepis, dan mengoyakan
segala ego. Tapi itu dulu waktu pohon itu masih miring dan mencari ribuan
tangan penopangnya.
“Pemilik tangan itu kemana sekarang, ah… coba tak usah
ditanya,” ujar sahabatku.
Kemarin, kata sahabatku itu ngelanjutin celotehnya, para pemilik
tangan hanya membenahi kinerja mereka, bukan membenahi rayuannya. “Kalau kata
mas pejabat tingginya ~siapa lu~ ,
sssttt, ini kebijakan bukan kebujukan, ada pembuat kebijikan yang lebih
tinggi statusnya, bukan jabatanya lho. Jadi santai kawan,” kata sahabatku,
sambil narik sebatang rokok dari bungkusnya, ternyata itu rokokku, hanya
tersisa sebatang diembat pula, demi persahabatan, walau kadang akupun dilupakan
saat dia sudah mulai berderajat.
Ah entahlah, aku hanya bisa diam dan terus menyimak, tapi
tak tahan lagi aku, rokok hasil utangku menipis, jadi mulai tak selera mendengarkan
ocehan mereka, seperti tak seleranya para kawan menumbuhkan prestasi yang akhirnya
dikuliti.
Dan aku pulang, ingin mengajak mereka, tapi mereka masih
asyik dengan ocehannya. Celoteh denga seribu mimic wajah agar pendengar makin
yakin bahwa cerita itu nyata. Mungkin pemilik warun itupun mulai percaya, dan
mungkin juga diberi makanan gratis buat kawan-kawan, tanpa mendalami lagi
cerita dibalik tegaknya pohon besar yang kini kokoh berdiri. ***