Gentamerah.com || Pekanbaru – Berdasarkan dokumen transaksi portofolio impor LNG Pertamina dari perusahaan Corpus Christi Liquefaction (CCL) Amerika Serikat, sejak tahun 2019 hingga akhir tahun 2023, terbukti Pertamina telah dan akan menikmati keuntungan bersih total sekitar USD 91.159.109 atau setara Rp 1,422 triliun (kurs 1 USD = Rp 15,600).
Sebab, hingga akhir September 2023 saja, Pertamina sudah menikmati keuntungan bersih sekitar USD 89.542.196 atau setara Rp 1,396 triliun.
Jika prognosa transaksi LNG CCL hingga akhir tahun 2030, Pertamina akan menikmati keuntungan sebesar USD 218.670.596 atau setara Rp 3,411 triliun.
“Sehingga aneh dan menjadi tanda tanya besar, dari mana perhitungan angka kerugian negara bisa mencapai USD 140 juta atau setara Rp 2,1 triliun, akibat Pertamina melakukan transaksi dengan CCL, seperti yang telah di umumkan Ketua KPK, Firli Bahuri dalam konferensi pers di gedung KPK pada 19 September 2023, ketika akan menahan mantan Dirut PT Pertamina, Karen Agustiawan,” ungkap Sekretaris Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), Hengki Seprihadi, Selasa (10/10/2023) di Pekanbaru.
“Lagi pula, kontrak LNG antara Pertamina dengan CCL berlangsung dari tahun 2019 hingga tahun 2040, apakah yang di hitung KPK hanya waktu rugi saja?. Bagaimana dengan keuntungan yang cukup besar sudah di nikmati Pertamina setelah Pandemi Covid 19 sejak tahun 2022 hingga ke depan?,” tanya Hengki.
Di katakan Hengki, memang Pertamina sempat mengalami kerugian ketika Pandemi Covid 19 melanda dunia sejak Maret 2020 hingga akhir tahun 2021. Adapun total kerugiannya saat itu selama dua tahun adalah USD 107.160.011.
“Mengingat Pertamina saat pertama menerima kargo LNG dari CCL pada tahun 2019 telah menerima keuntungan USD 2.138.136, maka status kerugian Pertamina pada akhir tahun 2021 secara kumulatif menjadi sebesar USD 105.021.875 juta,” lanjut Hengki.
Itupun menurut Hengki, kerugian dari produk Sale Purchase Agreement ( SPA) pada 20 Maret 2015 oleh Dwi Sucipto, sebab SPA 2013 dan 2014 era Karen sudah di amandemen dan tak berlaku.
Seharusnya, kata Hengki, secara proses bisnis yang sehat, kerugian di atas sebenarnya bisa di minimalkan jika Direksi Pertamina pada 18 Oktober 2018 bertindak profesional dan mampu menyelesaikan kesepakatan penjualan LNG CCL dengan Trafigura. Namun, alih-alih mengurangi kerugian, malah terjadi potensial loss bagi Pertamina sekitar USD 41,7 juta.
“Jika merujuk data notulen exit meeting audit atas neraca gas dan portofolio bisnis LNG PT Pertamina pada April 2020, muncul total angka kerugian USD 145.747.500 juta, akibat harga pasar LNG hanya sekitar USD 3,49 per MMBTU,” ungkap Hengki.
Adapun kerugian itu, lanjut Hengki, berasal dari kontrak Pertamina dengan perusahaan Total Prancis (4 kargo) sebesar USD 61.224.000, Corpus Christi USA (5 kargo) sebesar USD 39.652.500, Woodside Ltd Australia (2 kargo) sebesar USD 22.530.000 dan dari Eni Muara Bakau (2 kargo) sebesar USD 22.341.000.
“Dari data exit meeting tersebut terungkap harga beli LNG Pertamina dari Corpus Christi adalah harga paling murah, yaitu USD 6,33 per MMBTU jika di bandingkan dengan harga beli Pertamina dari Total USD 8,59 per MMBTU, dengan Woodside USD 7,25 per MMBTU, dengan Eni Muara Bakau USD 7,21 per MMBTU dan IDD Bangka USD 7,21 per MMBTU,” ungkap Hengki.
Jadi, kata Hengki, berdasarkan fakta-fakta tersebut, terbukti kebijakan Dewan Direksi Pertamina di masa Karen Agustiawan menjadi Dirut Pertamina, malah memberikan kontribusi keuntungan paling besar bagi Pertamina dan Negara.
Apalagi jika di lihat dari perspektif ketahanan energi nasional jangka panjang, Pertamina telah berhasil memiliki portofolio LNG di luar negeri yang sangat menguntungkan hingga akhir 2040.
“Maka wajar dan benar, jika Karen Agustiawan melakukan perlawanan terhadap KPK yang telah mentersangkakan dan menahan dirinya, padahal tindakan yang di lakukan secara kolektif kolegial dan best practice bagi PT Pertamina terbukti telah memberikan keuntungan besar bagi negara,” pungkasnya. PJS