“Dari mulai kadis,bendahara, kepala puskesmas, dah pada
motong dana itu. Ini yang cerita orang dalam, jadi kalau sampai bawah untuk realisasi,
ntah tinggal berapa lagi. Jangan-jangan gak direalisasikan,” celoteh seorang sahabat,
di sebuah mobil, perjalanan kami dari kodangan tempat seorang kawan, yang
katanya kepala kampung di area Blambangan Umpu, Waykanan.
Ntah pula, dana apa yang dimaksud sahabatku ini, karena dia
langsung diam, sambil menikmati cemilan kacang yang dibungkus tepung dibuat
bulat tanpa ujung. Seperti rapinya permainan dana BOK (bantuan operasional Kesehatan),
terbungkus rapi bak pilus kacang.
Mungkin dana itu yang dimaksud sahabatku itu, karena ada
kata kepala puskesmas. Tapi ini tebakanku aja.
“Kalau bersarnya sangat fantastis Rp900 jutaan, jika dari dalam
dinas dah pangkas memangkas, kemudian ke puskes pangkas lagi, wah lumayan juga.
Realisasinya tidak pernah terlihat, itulah hebatnya program ini. Wajar jika
kondisi Gedung amburadul, pelayanan ga maksimal, duitnya habis,” timpal kawan
yang megang setir, sambil berikan senyuman simpul penuh makna.
Seperti banyak maknanya seorang kepala puskes yang ngeluh
dengan kondisi keuanganya. Lah, pelayan masyarakat mulai ngeluh, keluh yang
hanya kepura-puraan, padahal katanya ketua forum. “Lah biasa itu mas, untuk duduk
di kursi itu ga murah mas, itu kata kawanya kawan saya. Jadi wajar kalua mereka
awuk-awukan dengan dana yang empuk itu,” kata sahabat yang duduk disampingku, maksud
hati sambil mau ngidupin sebatang rokoknya, tapi diurungkan karena empunya
mobil tidak ngerokok, dan mobil full AC, terasa nyaman, meski acap kesandung
lubang, tapi sopirnya rapi cara bawanya, hingga bisa trabas-trabas.
Diberikan kenyamanan, biar bisa duduk enak, meski goyang-goyang
dikit, seperti jabatan yang mahal untuk didapatkannya, tak cukup lobi tapi
harus pakai embel-embel amplop. Ya wajar jika trabas dana yang ada,
mengembalikan uang muka. Pas akhir tahun emang sudah habis, karena dari awal memang
sudah nipis, sesuai dengan singtkatan BOK, sebuah kotak kecil yang rahasia.
“Ah, jangan pakai-pakai istilah gitu, aku ga ngerti om,”
kataku nimpali omongan sahabat yang banyak Bahasa kiasan. Seperti banyaknya
kiasan dari BOK itu, yang seharusnya ada juga bagian buat kader kesehatan
termasuk dukun bersalin.
“Dukun bersalin bisa aja ga dilirik, karena alasanya mereka
belum miliki sertifikat Kesehatan, jadi amanlah uang itu bisa lari ke bok pribadi,”
kataku, sekenanya.
Mobil melaju dengan kencang, tak lagi sudah hamper masuk
area Blambangan Umpu, tepat disebuah jalan-jalan hancur menuju kantornya orang
nomor satu. Untung per keong mobil kawan ini empuk jadi ga terasa. Apalagi sekelas
mobil mewah milik pejabat, mana kerasa dijalan-jalan berlubang, bahkan mereka
tidak tahu ada banyak lubang disekitar itu, yang penting dapat selahnya, aman,
begitu juga dengan BOK itu, selahnya memang empuk kayak per keong baru.
Ah, sudah nyampai, kami segera turun masing-masing, dan
ambil kendaraan masing-masing. Aku dengan motor bututku, melaju pulang, dibawah
terik matahari, melalui lubang-lubang jalanan yang membuat oleng sepeda motor
bututku. **