Karya : Wiens
Pena Hitam.
Cerita ini bukan fiksi atau fatamorgana, bukan diangan-angan semata, yang membias di cakra alam kehidupan dan jadi bunga berwarna duka.
Aku masih bingung dengan definisi tentang makna harfiah dari kata kepedihan hati.
Setauku di dunia ini luka merajalela menyerang benteng pertahanan manusia, kalahkan mental manusia. Bahkan kiasan kelukaan tak berdarah juga berasal dari satu kata kecewa. Luruhnya fisik mudah untuk diobati.. Namun saat batin yg mendarai mengapa dunia diam tanpa memberi resep pasti untuk penawar nya!
Ahhh… Entahalah sampai saat ini pun aku masih diombang ambing dengan perasaan ku sendiri yang ternyata begitu terbawa dibawah kendali kesedihan tanpa mampu menyibak kata maaf.
Kala dentaian dawai kebahagian melantun memaknakan simbol kebahagian yang berselimut keluarga lain, aku hanya mampu menatapnya dengan penuh nelangsa. Saat itu waktuku banyak menyalahkan sang pencipta, yang menorehkan takdir sekejam ini untukku.
Menjamah kesalahan yang menjadi tunas luka yang tumbuh didalam benak batin.
Aku, sulung dari tiga bersaudara. Saat ini bisa dibilang aku adalah wanita sukses, menggenggam kegemilangan karir, usaha keras ku membuahkan hasil diwisuda S2 dengan peringkat juara lulusan terbaik.
Tuhan memberikan jalan yang sangat mulus untuk ku meniti tangga-tangga kesuksesan. Ditengah kebahagian yang memborbardir hidupku, terasa ada ruang kosong penuh sunyi dan keheningan. Lara selalu menyelinap jauh dihati terdalam. Duka selalu deciderai kebahagian yang kurasakan.
Namun antara rasa bangga nya diri, belum cukup dengan torehan pahit kehidupan.
****
siang itu aku merayakan kelulusan, membuat acara syukuran kecil-kecilan; dengan mentraktir sahabat-sahabat ku yang selama ini selalu ada dengan support juga doa mereka. saat aku sedang asyik menikmati seporsi bakso bersama merekaku.
Tiba-tibamataku tak sengaja melihat lelaki tua yang lewat sambil mendorong gerobak baksonya. Pandangan nanar menatap sosoknya. Lelaki itu terlihat kursus, tua, keriput telah menghiasi selisih kulitnya degan langkah yang tertatih, laki-laki tua berbadan kecil kurus, seakan tak mampu menahan beban gerobak bakso yang didorongnya.
Dan saat melihatnya, jamahan pilu menghadir diantara sela hati dan pikiranku.
Sementara airmata dengan tidak sopannya hadir membasahi mataku, padahal pikiranku menentang rasa Iba, rasa sedih yang hadir saat menatapnya.
” Heii.., itu Ayahmuuu..!!! teriak hatiku sekencang mungkin. Seakan-akan berusaha mendobrak nurani jua pikiranku yang tidak mau diajak berkompromi.
“Kamu tidak kasihankah melihatnya??” Tidak kasihan menyaksikan itu?Tidakkah Iba melihatnya tertatih2 mencari rejeki diusia senjanya?
teriak hatiku lebih kencang.
Meski secara bersamaan, airmata ini mengakui mencari muara diwajahku,namun hanya terdiam, membisu, menatapnya dengan sinis.
Dan tetap yang terjadi pada saat itu.
” Egoku lebih tinggi dari hatiku, “
Kata nestapa ini membisik
Dia bukan ayahku, sampai kapanpun dia bukan ayahku.
gumamku serasa memalingkan pandanganku dari nya.
Kisah kedurhakaanku dimulai dari sebuah dendam yang terproses dengan sendirinya dalam perjalanan hidupku. Ketidakhormatanku dimulai ketika aku merasakan kerasnya hidup menjadikan orang tidak punya.
Dan ketidakibaanku, terproses ketika banyak cibiran kepada keluargaku yang hidup tidak berpunya.
“Maaf jika benci ku melebihi rasa cintaku pada mu ayah”
**** Part 1