Bandarlampung – Caplok Tanah Milik Kemenag, Kejati Lampung Bui Mantan Kepala BPN Lamsel di Bui. Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung juga menahan Seorang PPAT, karena terlibat skandal penerbitan sertifikat hak milik (SHM). Mereka mencaplok tanah milik Kementerian Agama (Kemenag) RI.
Aroma busuk mafia tanah kembali tercium. Mantan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Lampung Selatan, Lukman, dan seorang Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) bernama Theresia, resmi digelandang ke jeruji besi oleh Kejati Lampung, Selasa (25/6/2025).
Keduanya ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus penyerobotan lahan milik negara, dengan kerugian fantastis mencapai lebih dari Rp54 miliar!
Asisten Tindak Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Lampung, Armen Wijaya, mengungkapkan bahwa kerugian negara sebesar Rp54.445.547.000 berdasarkan hasil audit resmi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Provinsi Lampung.
“Tanah seluas 11,7 hektare di Desa Pemanggilan, Kecamatan Natar, Lamsel itu sudah tercatat sebagai aset Kemenag RI sejak 1982. Tapi nyatanya bisa disulap jadi milik pribadi. Ini jelas kejahatan yang melibatkan oknum berwenang,” tegas Armen.
Dalam prosesnya, Lukman diduga menyuruh bawahannya menerbitkan SHM atas nama pihak lain, padahal status tanah masih Hak Pakai milik negara. Tak tanggung-tanggung, dokumen pendukung yang disodorkan untuk penerbitan sertifikat juga diduga palsu!
Parahnya lagi, Theresia yang notabene PPAT—yang seharusnya menjaga keabsahan dokumen—malah ikut serta memproses dokumen haram tersebut. “Bukannya menolak, malah membantu proses sertifikasi atas tanah milik negara. Ini menunjukkan ada persekongkolan,” beber Armen.
Kejati Lampung masih terus mendalami kasus ini dan membuka peluang penambahan tersangka.
“Penyidikan terus berlanjut. Pemeriksaan saksi-saksi intensif dilakukan. Kalau ada bukti baru, ya tentu akan ada tersangka lain yang menyusul,” ujarnya.
Saat ini, Lukman dititipkan di Rutan Polresta Bandar Lampung, sementara Theresia ditahan di Rutan Way Hui. Keduanya bakal meringkuk selama 20 hari ke depan untuk kepentingan penyidikan.
Mereka dijerat dengan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3, dan Pasal 18 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 junto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.