Opini  

“Matinya Demokrasi” Penggusuran Terhadap 42 Rumah Warga di Sabah Balau

“Matinya Demokrasi” Penggusuran Terhadap 42 Rumah Warga di Sabah Balau

Oleh : Joe Bimbim – Kabiro Genta Merah Balam

Pada Rabu lalu, pada 12 Februari 2025 lalu, Pemerintah Provinsi Lampung melakukan penggusuran pada warga Sabahbalau, Sukarame, Lampung Selatan, Bandar Lampung. Pada saat penggusuran 1200 aparat dihadapkan dengan warga yang katanya bertujuan untuk melakukan penertiban tapi berakhir dengan tindakan – tindakan represifitas yang dialami oleh warga dan juga masyarakat yang terlibat dalam pendampingan penggusuran warga tersebut.

Banyak warga terutama perempuan menjadi korban kekerasan akibat mempertahankan rumahnya, bahkan dari informasi dan video yang beredar diduga ada perempuan hamil yang mengalami pendarahan pada saat eksekusi penggusuran hingga menyebabkan keguguran. Hal ini sangat disayangkan bahwa pemerintah selalu menghadap-hadapkan aparat dengan masyarakat sipil yang menjadi bukti bahwa pemerintah selalu menggunakan pendekatan – pendekatan militeristik yang represif serta intimidatif dalam pembebasan suatu lahan yang yang ditempati warganya. Langkah penggusuran ini menjadi langkah praktis pembenaran pemerintah atas “pembangunan” dan demi “kepentingan umum”.

Menurut Reni Yuliana Meutia (Ketua Badan Eksekutif Komunitas) Komentar Umum PBB Nomor 7 Tahun 1997 tentang Penggusuran Paksa telah mengatur bahwa penggusuran hendaknya merupakan opsi terakhir apabila sudah tidak ada lagi solusi bagi masalah perkotaan karena rawan pelanggaran terhadap hak-hak dasar masyarakat.

Padahal jelas telah diatur dalam UUD 1945 yang menjadi hierarki tertinggi dalam berbagai aturan perundang – undangan turunan nya yang tercantum dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa negara menguasai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar – besarnya kemakmuran rakyat.

Penggusuran seharusnya menjadi opsi terakhir apabila sudah tidak ada lagi solusi bagi masalah perkotaan karena rawan pelanggaran terhadap hak-hak dasar masyarakat (Komentar PBB Nomor 7 Tahun 1997 Tentang Penggusuran Paksa).

proses penggusuran tersebut pun tidak dapat dilakukan secara sewenang – wenang, mengikuti mekanisme yang telah ditetapkan oleh PBB, sebagai upaya perlindungan prosedural bagi warga terdampak penggusuran, mulai dari pra penggusuran, saat penggusuran, hingga pasca penggusuran yang wajib diterapkan saat melaksanakan penggusuran. Tetapi unsur ini tidak dipenuhi pemerintah terutama pada pasca penggusuran yaitu tidak adanya kompenasasi yang layak bagi para korban yang sudah dihancurkan bangunannya.

Watak kolonialisme dan praktik – praktik penguasaan tanah dalam Agrariasche Wet 1870 dan Domein Verklaring seharusnya sudah tidak diterapkan dengan lahirnya Undang – Undang Pokok Agraria (UUPA).

Reni Yuliana Meutia (Ketua Badan Eksekutif Komunitas) ; menyampaikan bahwa Akar permasalahan yang menyebabkan rakyat menempati lahan – lahan kosong tidak produktif adalah karena minimnya akses rakyat dalam memenuhi hak dasarnya sebagai manusia yaitu kebutuhan akan papan. Untuk memenuhi kebutuhan utama nya akan pangan (makan) saja sangat sulit, karena rakyat telah kehilangan ruang – ruang penghidupannya, kedaulatan atas sumber daya alam akibat berbagai aturan dan kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat terutama  perempuan yang akan merasakan dampak berlapis nya. Dampak dari kebijakan yang berlapis tersebut diantaranya adalah timpangnya penguasaan atas lahan antara perusahaan ekstraktif vs masyarakat, semakin massifnya pembangunan yang berwatak kapitalis, kemudahan perusahaan dalam akses perizinan, diskriminasi upah yang dialami oleh para buruh – buruh serta nilai – nilai patriarki yang semakin menguat di masyarakat menjadi penyebab dari lahir dan bertambahnya kemiskinan bagi warga miskin kota, petani, nelayan hingga pada setiap konteks kehidupan rakyat lainnya.

Kemiskinan terstruktur ini kemudian memberikan dampak berlapis kepada perempuan. Pada saat penggusuran di Sabahbalau banyak perempuan kemudian kehilangan akses terhadap air bersih yang kemudian berdampak pada kesehatan reproduksinya dan juga apada anak-anaknya. Kehilangan tempat berteduh dan tempat tinggal  aman bersama keluarganya, yang kemudian sangat rentan mengalami kekerasan serta pelecehan seksual, pada anak – anak juga kehilangan akses terhadap pendidikan karena wilayahnya menjadi lahan konflik dengan perusahaan maupun negara, perempuan yang kehilangan ruang hidupnya, yang awalnya bertani, atau ibu rumah tangga yang berjualan di rumah, atau menanam tanaman di pekarangan untuk kebutuhan rumah tangga nya kehilangan penghidupan dan pengelolaan atas sumber daya alam yang kemudian mau tidak mau untuk memenuhi kehidupannya dan keluarga kemudian menawarkan diri dengan pekerjaan cuci gosok, asisten rumah tangga hingga menjadi pekerja seks komersial sementara mereka tinggal di rumah – rumah nomaden mereka. Ada juga yang mengambil pilihan lain menjadi pekerja migran yang sebenarnya bukan langkah konkret penyelesaian permasalahan ekonomi nya malah rentan mendapatkan diskriminasi, kekerasan hingga rentan menjadi korban TPPO. Pola kemiskinan struktural yang terjadi di Provinsi Lampung ini kemudian menjadi lingkaran kemiskinan berulang yang tidak berhenti. Seperti contohnya ada beberapa warga korban penggusuran Sebahbalau yang saat ini mengungsi sementara di Sekertariat SP Sebay Lampung ternyata merupakan korban dari penggusuran eks pasar griya sebelumnya. Ini menandakan belum adanya pemulihan hak rakyat yang layak yang diterima warga tsb pasca penggusuran, dan belum ada program pemerintah yang dapat memutus rantai kemiskinan di Provinsi Lampung khususnya. Berdasarkan hal tersebut Solidaritas Sebay Lampung memberikan tuntutan kepada Pemerintah Provinsi Lampung sebagai berikut :

  1. Usut pelaku tindakan represifitas yang dilakukan oleh oknum aparat, preman terhadap warga dan masyarakat yang terlibat dalam penggusuran warga Sabahbalau;
  2. Berikan ganti rugi yang layak terhadap bangunan dan tanaman tumbuh warga yang menjadi objek penggusuran;
  3. Berikan pengelolaan trauma pasca penggusuran pada warga yang terdapak penggusuran (Komentar PBB No.7 Tahun 2007 Tentang Penggusuran Paksa)
  4. Sediakan pemukiman layak huni gratis atau subsidi bagi warga dengan angka kemiskinan ekstrem serta akses terhadap air bersih;
  5. Beri ruang pengelolaan kepada warga terhadap tanah – tanah kosong yang tidak produktif dengan jangka waktu tertentu dengan perjanjian yang mengikat diantara warga dan pemerintah;
  6. Berikan pelatihan – pelatihan untuk meningkatkan softskill dan ciptakan lapangan kerja bagi masyarakat di Provinsi Lampung;
  7. Cabut kebijakan – kebijakan di Provinsi Lampung yang tidak memiliki perspektif terhadap rakyat terutama perempuan.

 

Sumber ;

Amnesty Amalia Utami.SH

Reni Yuliana Meutia (Ketua Badan Eksekutif Komunitas)

Dok ; Badan Eksekutif Komunitas

Tinggalkan Balasan

error: Berita Milik GNM Group