Disrobot Kapal Besar Penangkap Ikan, Nelayan Tanggamus Terpuruk

Disrobot Kapal Besar Penangkap Ikan, Nelayan Tanggamus Terpuruk



gentamerah.com

Tanggamus- Kehidupan nelayan tradisional
disepanjang pesisir Teluk Semaka, Kabupaten Tanggamus, Lampung semakin
memprihatinkan. Saat ini tidak hanya menghadapi tantangan dengan banyaknya
kapal penangkap ikan berukuran besar dengan menggunakan peralatan yang canggih.
Namun juga harus menghadapi kenyataan berkurangnya hasil tangkapan mereka. 

Imbasnya, perekonomian
keluarga yang kian hari tak menentu. “Kami memang harus berjuang, karena
kondisi peralatan yang seadanya, sementara saat ini banyak perahu berukuran
besar dari luar Kabupaten Tanggamus yang beroperasi,” ujar Bakri anukri (47),
nelayan di TPI Kotaagung, Kabupaten Tanggamus, kepada gentamerah.com, Rabu
(25/1/2017)
Menurutnya,
hampir 90 persen nelayan di TPI Kotaagung, merupakan buruh nelayan yang bekerja
sebagai Pandega (anak buah kapal nelayan). “Penghasilan kami memang pas-pasan.
Melaut sehari hanya cukup untuk menghidupi kebutuhan satu hari kadang juga
tidak cukup karena mahalnya kebutuhan saat ini,”  kata warga Pekon Negri Ratu, Kecamatan
Kotaagung ini.
Selain itu,
nelayan juga harus berhadapan dengan kerasnya kehidupan di laut dengan cuaca
yang tidak menentu yang jelas akan berpengaruh pada perekonomian keluarga.
“Kalau sudah
musim angin Tenggara, maka kami libur melaut. Sebab, kalau melaut juga percuma
tidak akan dapat ikan. Ini bisa seminggu, bayangkan dalam seminggu kami
nganggur, makanya punya apa saja dijual untuk makan,” kata Jasra, nelayan
lainnya.
Menurut
Jasra,  saat ini setiap perahu nelayan
hanya memiliki satu jenis alat tangkap ikan, sedangkan dalam setahun terdapat
beberapa musim ikan. Dengan satu alat tangkap ikan yang dimiliki nelayan,
otomatis tidak bisa digunakan menangkap ikan jenis lainnya. Misalnya alat
tangkap udang tidak bisa digunakan untuk alat tangkap ikan. Ini yang jadi
kendala nelayan, terlebih saat ini harga alat tangkapan ikan sangat mahal dan
nelayan tradisional tidak mampu membelinya.
Keterpurukan
nelayan ini, kata Aming, nelayan di Pekon Tegineneng, Kecamatan Limau  terjadi akibat beberapa hal, diantaranya
harga bahan bakar solar dan sembako mahal, juga tidak dimilikinya alat tangkap
ikan lengkap.
“Alat
tangkap yang kami punya sangat minim, selain itu perahunya juga kecil. Tidak
bisa untuk mencari ikan di lautan dalam. Kalau mau beli, dapat duit darimana,
wong untuk makan saja susah,” katanya.
Penelusuran gentamerah.com, saat ini, alat tangkap ikan harganya
naik berkisar Rp 110 ribu belum termasuk alat lainya seperti tambang dan timah,
jadi total untuk satu alat tangkap sekitar Rp 250 ribu. Sedangkan, satu perahu
membutuhkan 30-40 buah alat tangkap sejenis atau yang disebut ting-ting. Jika
Rp 250 dikali 30 atau 40 buah alat tangkap yang dibutuhkan, yaitu sekitar Rp
7,5 hingga Rp 10 juta untuk satu perahu.
“Jadi,
untuk beli bahan bakar solar saja sulit, apalagi beli alat tangkap ikan yang
mahal,” kata Dedi, nelayan di Pekon Tanjung Agung, Kecamatan Kotaagung
Barat.

Keluhan
nelayan ini sudah bukan hal baru melainkan sering terdengar di tahun-tahun
lalu. Meski pemerintah telah membantu mereka dengan infrastruktur bangunan TPI
dan mesin perahu. Namun, harga bahan bakar dan sembako yang tinggi tetap saja
tidak bisa menandingi biaya produksi. Artinya, pergi melaut dengan ongkos besar
dan pulang dengan penghasilan minim, bahkan nelayan tidak cukup untuk bayar
hutang ke warung nasi

Penulis : Sayuti Rusdi
 Editor : Seno
Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

error: Berita Milik GNM Group