Warung Padang di SPBU depan kantor DPRD itu penuh aroma rendang dan gulai. Aku, Kawan, dan Sahabatku duduk di pojok, sambil mengaduk kopi hitam yang lebih banyak ampasnya.
Kawan mendesis pelan.
“Hancur juga akhirnya Direktur RS Ryacudu. Ditangkap Kejari gara-gara proyek tahun 2022. Aku sudah duga, rumah sakit itu bukan sekadar tempat sakit badan, tapi juga tempat sakit moral,” timpalnya, sambil nyeruput kopi kental manis kesukaannya.
Aku menoleh, menahan senyum getir.
“Jangan cuma bilang begitu. Yang sakit bukan cuma di rumah sakit. Kantor sebelah sana juga penuh penyakit,” ujar Sahabatku, sambil dagunya mengarah ke gedung DPRD yang hanya dipisahkan jalan.
Aku mengangguk.
“Itu yang bikin aku penasaran. Setelah direktur rumah sakit masuk bui, siapa lagi yang bakal dibidik Kejari? Bukankah proyek-proyek itu tak mungkin jalan sendirian? Ada tanda tangan, ada restu, ada bagi-bagi,” katanya, suaranya dingin. Sedingin kasus ini yang baru muncul setelah tiga tahun tidur panjang.
Aku bergumam dalam hati: Proyek itu kan dikerjakan tahun 2022. Tahun 2023 dingin, 2024 juga dingin. Kok baru akhir 2025 kejangkitan? Apa butuh waktu selama itu untuk menghitung Rp211 juta lebih? Atau menunggu momentum? Ah, entahlah.
Kawan mendekat, menurunkan suaranya, seolah takut didengar ayam pop di piring sebelah.
“Katanya, Kejari sudah kantongi beberapa nama. Anggota dewan pun masuk radar. Bukan rahasia, ada yang ikut cicipi jatah dari proyek rumah sakit,” bisiknya lirih.
Sahabatku tertawa sinis.
“Ya pantes aja. Ada yang mendadak rajin ganti mobil. Dari Avanza butut jadi Fortuner putih. Ada pula yang istrinya pamer gelang emas di medsos, tiap pekan arisan gaya jetset. Padahal kalau mengandalkan gaji dewan saja, jangankan beli rumah dua lantai, cicilan motor saja kadang ngos-ngosan.”
Kawan menimpali, setengah berbisik.
Bisik-bisik di warung kopi sudah ramai. Ada nama Mr. X, yang katanya waktu itu pernah ikut diperiksa jadi saksi juga, dipemeriksaan Sang Direktur. Ada juga Fulan, yang wajahnya kalem, tapi tangannya ikut basah. Rakyat tahu, meski pura-pura tak tahu.
Aku menyandarkan punggung, menatap nasi Padang yang sudah dingin.
“Kalau benar begitu, seharusnya kita tunggu saja. Biar hukum yang buka aib satu per satu. Karena kalau rakyat cuma dengar bisik-bisik, bisa salah tuduh. Dan salah tuduh justru jadi alat cuci dosa bagi penjahat sesungguhnya,” kataku, mencoba menenangkan.
Sahabatku menatap tajam.
“Bisik-bisik itu sering lebih jujur daripada jumpa pers. Karena gosip lahir dari kenyataan, sementara konferensi pers sering dipoles untuk menutupi. Rakyat lebih percaya mulut warung kopi ketimbang lidah pejabat.”
Kawan menggebrak meja kecil itu, membuat gelas berguncang.
“Aku cuma ingin lihat, berani tidak Kejari menyeret yang punya kursi empuk di kantor sebelah sana. Kalau berani, Lampura benar-benar dapat harapan baru. Kalau tidak, ya sama saja—ikan busuk mulai dari kepalanya, tapi rakyat kecil yang selalu kena amisnya!”
Aku terdiam. Rendang di piring tinggal separuh, tapi rasanya sudah hambar.
Dalam hati aku bergumam: Di negeri ini, pejabat bisa sakit gigi, sakit perut, sakit hati. Tapi penyakit paling berbahaya adalah rakus. Dan rakus tak bisa disembuhkan rumah sakit, karena sudah jadi gaya hidup di kursi kekuasaan.