Lentera Hati
“Disebut setor Rp250 juta, biar ponakanya masuk Unila lewat
jalur mandiri. Bukan hanya dia ternyata, bosnya dan bos-bos lain penguasa daerah
juga ikut setor, bahkan ada dalam barang bukti,” celoteh seorang kawan, disebuah
warung soto babat tak jauh dari SPBU Sidoarjo Waykanan.
Nah, sudah bicara setor menyetor, aku jadi pengen banget
ikut nimbrung obrolan sahabat dan kawan itu. Tapi aku masih nyimak Bahasa bos penguasa
daerah itu, yang seperti apa. Apakah selama ini seperti itu juga ya mengajari
mental anak dan saudaranya “Suap”.
Bahkan dulu pernah sebuah cerita pernah aku dengar, untuk masuk
disebuah perguruan tinggi yang katanya ikatan dinas, seorang anak Bupati bisa
jebol masuk karena ada setoran juga, sekarang kata kawan masuk bui setelah jadi
bos penguasa juga.
“Itukan baru disebut aja dalam sidang, katanya selema ini
beliau itu ngakunya buntu terus. Ah entahlah mungkin hanya gayanya aja,” timpal
sahabatku, yang duduk tepat didepanku, sambil ngunyah babat sotonya, terlihat
agak alot, bahkan berkali terlihat bibirnya agak menyot-menyot.
Seperti alotnya kursi jabatan untuk diraih, perlu kedekatan,
lobi dan utama itu ya perlu adanya setor menyetor. Jangankan jabatan tinggi
sekelas Kepsek, dan Camat aja tak gratis kawan. Lelang untuk jabatan eselon II
itu hanya formalitas belaka.
“Kalau yang satu ini saya kira ga berlaku pepatah jawa ‘Jer
Basuki Mowo Beo’ (Mau enak itu perlu biaya). Gimana baru mau kuliah aja kok
pakai setor, apa iya baru sekarang itu terjadi, mungkin aja om Karomani yang lagi apes aja. Lah mungkin udah
membudaya, ada unsur sikut menyikut juga,” kata kawan yang baru datang dan
langsung memesan soto babat, sambil meraih bungkus rokokku yang didalamnya
tinggal dua batang lagi.
Aku tahu kawan ini asal comot aja, gak perlu dilihat rokokku
berkwalitas apa ga, yang penting ada dan murah, bahkan bisa nyenengin. Karena kwalitas
sekarang ini bukan jaminan, bahkan hampir tak laku lagi, yang penting nurut dan
tunduk.
“Kwalitas, apa itu kwalitas, hanya isapan jempol bae kong. Ga
perlu kwalitas kalau mental pejabatnya seperti
ini,” kata kawan, sambil tertawa terbahak-bahak, dan dimulutnya masih sangat
jelas terlihat ada bakwan goreng, untung saja tidak nyembur muntah.
Seperti mereka yang sudah jadi pejabat tinggi, dengan harta
yang tidak sedikit, tapi masih saja terus minta disumpal, akhirnya muntah. Tak ubahnya
seperti mahasiswa yang masuk dengan cara titipan itu, mereka hanya menuruti
nafsu tapi didukung orang sekelilingnya, demi sebuah gengsi.
“Ah ntahlah, mereka mempermainkan permainan yang harusnya jangan
dimainkan, hanya karena sebuah gengsi. Terserahlah kamu orang ngoceh apa, aku nyimak
aja. Nah kalua sekelas Sekda aja dah nitip segitu, terus sekelas diatasnya
berapa ya,” sergahku sekenanya, meski aku tak paham bahasa celotehan itu. Karena
yang aku tahu kalua nitip itu, suatu saat bisa diambil, tapi ntah kalua yang
pakai amplop coklat berlogo pula, apa iya mau diambil lagi.
Waktu sudah makin siang, mbak penjual soto terlihat dah
mulai jengah dengar tawa dan ocehan kami yang tak henti. Aku pamit duluan,
sambil meraih bungkus rokokku, ah ternyata sisa sebatang itu sudah raib juga,
dikuras kawan. ***