Waykanan – Terkait angkutan batu bara yang melintas jalan Lintas Sumatera, kerap menjadi polemik ditangah beberapa kelompok, yang diduga gagal paham dengan aturan yang ada.
Hal itu disampaikan Ketua DPP Empati RI, Muhammad Djalal Hafidz A., S.H, di ruang kerjanya, melihat adanya beberapa aksi massa yang mengatasnamakan sebuah organisasi, untuk menghadang akutan umum batu bara, agar putar balik.
Pada Jum’at (08/08/2024) malam, sekelompok ormas yang menamakan dirinya Laskar Merah Putih (LMP) melakukan aksinya di tuggu Bundaran Simpang Empat, Kampung Negeri Baru, Kecamatan Umpu Semenguk, Kabupaten Waykanan, karena tersulut angkutan batu bara yang kerap lalu di Jalan Lintas Sumatera.
“Katanya, aksi itu mereka lakukan untuk menegakkan aturan, bahwa angkutan batubara dilarang melintas di jalan umum, khususnya di sepanjang Jalan Lintas Sumatera Kabupaten Waykanan. Padahal jalan lintas Sumatera adalah jalan milik Negara yang artinya semua warga Negara berhak memakai dan menggunakannya,” katanya.
Djalal meminta para pihak yang kerap berbeda pandangan dan pendapat untuk bersabar serta mengambil banyak pelajaran dari kejadian itu.
“Saya sampaikan pandangan ini secara netral, untuk kita pahami Bersama. Yang pertama, mengenai aturan demo, Demo (menyampaikan pendapat), salah satu hak asasi manusia yang dijamin oleh Negara dimana Pasal kebebasan berpendapat diatur dalam UUD 1945 Pasal 28,” kataya.
Dalam UU tersebut, kata Djalal, Pasal 28E ayat (3) setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Dan mengenai unjuk rasa/demo diatur dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Menurutnya, penyampaian pendapat dimuka umum (Demo.RED), wajib diberitahukan secara tertulis kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI). Pemberitahuan secara tertulis tersebut disampaikan oleh yang bersangkutan, pemimpin, atau penanggung jawab kelompok Termaktub dalam Pasal 10 ayat (1) dan (2) UU 9/1998.
“Dalam aturan itu jelas, Pemberitahuan disampaikan selambat-lambatnya 3 x 24 jam sebelum kegiatan dimulai telah diterima oleh Polri setempat. Pemberitahuan secara tertulis ini tidak berlaku bagi kegiatan ilmiah di dalam kampus dan kegiatan keagamaan,” ujarnya.
Termaktub dalam Pasal 10 ayat (3) dan (4) UU 9/1998. Mengenai tempat waktu demonstrasi, Aksi demo hanya dapat dilakukan di tempat terbuka antara pukul 06.00 s.d. pukul 18.00 waktu setempat, dan di tempat tertutup antara pukul 06.00 s.d. pukul 22.00 waktu setempat, termaktub dalam Pasal 7 ayat (1) Perkapolri 7/2012.
“Adanya tenggat waktu untuk melakukan aksi, ini harus diketahui oleh massa yang mengelar aksi, terlebih sepengetahuan saya pribadi, terdapat SKB FORKOPIMDA Waykanan yang menetapkan bahwa kendaraan yang mengangkut batubara (“HAULING BATUBARA”) boleh melintas di malam hari, artinya pada waktu kejadian memang waktunya angkutan batubara melintas,” ujar Djalal.
Selama belum adanya keputusan yang berkata lain tidak boleh diambil tindakan sepihak terkait hal tersebut, apalagi memutuskan untuk memutarbalikkan paksa angkutan batubara.
“Jika menilik lebih dalam mengenai tempus demonstrasi menurut peraturan perundang-undangan ataupun Perkapolri yang berlaku, tidak mungkin pihak kepolisian mengizinkan massa aksi melakukan demonstrasi hingga malam hari,” terang Djalal HA, SH.
Kedua lanjutnya, bila menilik dari sisi Surat Edaran yang juga menjadi dasar hukum, ingin ditegakkan massa aksi.
“Kami memiliki pendapat lain, Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pada Pasal 7 membagi jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan berurutan dari yang derajat tertinggi, yaitu; UUD Negara RI Tahun 1945, Ketetapan MPR, Undang-Undang/PerPU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/kota. Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan hierarki tersebut. Dari yang palinggi tinggi hingga yang paling rendah kekuatan dan keberlakuannya,” kata dia
Djalal juga mencuplik, dalam hukum terdapat Asas lex superior derogate legi inferiori dapat diartikan bahwa peraturan perundang-undangan yang mempunyai derajat lebih rendah dalam hierarki peraturan perundang-undangan, tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi.
“Ini artinya Surat Edaran tidak dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan, dan hanya memuat pemberitahuan tentang hal tertentu yang dianggap mendesak. Sebagaimana disebutkan dalam buku Pedoman Umum Tata Naskah Dinas, cetakan Edisi I Januari 2004 dan Peraturan Menteri (Kemenpan) Nomor 22 Tahun 2008,” katanya.
Berdasarkan Permendagri No. 55 Tahun 2010 pasal 1 butir 43 dijelaskan bahwa SE adalah naskah Dinas yang berisi pemberitahuan, penjelasan, dan/ atau petunjuk cara melaksanakan hal tertentu yang dianggap penting dan mendesak.
Surat Edaran tidak juga dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan, bukan juga suatu norma hukum sebagaimana norma dari suatu peraturan perundang-undangan. Sehingga Surat edaran tidak dapat dijadikan dasar hukum untuk menganulir peraturan menteri, apalagi peraturan berhierarki lainnya.
Surat edaran lebih dapat diartikan sebagai surat pengantar untuk mengantarkan suatu produk kebijakan dan di dalam isinya tidak merubah, tidak menambah-nambahi, tidak menganulir peraturan yang dihantarkannya, sehingga peraturan yang dihantarkan tetap utuh dan tidak bermakna ambigu (ganda) akibat dari surat edaran dimaksud.
Kemudian Djalal menjelaskan UU yang selalu dipertanyakan masyarakat terkait hauling batubara, yaitu UU No. 3 Tahun 2020 tentang perubahan UU No. 4 Tahun 2009 Tentang Minerba. Pada pasal 91 ayat (1) dan ayat (2) hauling batubara tidak boleh melintas di jalan umum, akan tetapi pada Pasal 91 ayat (3), dijelaskan bahwa Dalam hal jalan Pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak tersedia, pemegang IUP dan IUPK dapat memanfaatkan sarana dan prasarana umum termasuk jalan umum untuk keperluan Pertambangan setelah memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sehingga sebenarnya menurut kami hauling batubara di jalan umum tetap dapat dilakukan dikarenakan jalan umum juga merupakan fasum, dimana dana yang digunakan juga salah satunya berasal dari pajak yang juga ditarik dari pengusaha batubara.
Lalu terkait dengan APH Waykanan, Ketua DPP EMPPATI RI tersebut dengan tegas menilai bahwa APH harus menegakkan peraturan secara Tepat, melihat dari kericuhan yang terjadi, harus dilihat betul dari sisi Sebab kejadian tersebut bisa terjadi.
Karena Hukum Pidana akan selalu melihat sebab-akibat kemudian di komparasi dengan unsur-unsur pidana yang terdapat dari perbuatan yang dilarang oleh Undang-Undang. Serta, APH harus menerapkan Asas Praduga Tak Bersalah atau yang lebih dikenal dengan istilah “Presumption of Innocence” Dalam hukum acara pidana, asas praduga tak bersalah diatur dalam Penjelasan Umum Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) butir 3 huruf C. Selain itu, UU Kehakiman No. 48 Tahun 2009 mengatur asas ini dalam Pasal 8 ayat (1).
“Kami berharap APH memberikan solusi yang tepat, dan juga apabila diperlukan adanya sanksi pidana nantinya harus dijatuhkan sesuai dengan yang seharusnya, tanpa melihat dari isu yang berkembang saja atau salah satu sisi saja, ingat nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali yang memiliki arti bahwa, tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas aturan pidana. Sehingga apabila nantinya akan dilakukan suatu tindakan hukum oleh APH gunakan prosedur yang seharusnya,” pungkas Ketua DPP EMPPATI RI.
Diketahui, diduga aksi kericuhan terjadi di Kampung Negeri Baru Kecamatan umpu Semenguk saat ada Aksi damai Ormas LMPI berawal dari Demonstrasi yang dilaksanakan hingga malam hari (Salahi Aturan.RED).
Karena adanya sasi tersebut, pada pukul 19.47 WIB terdapat sekelompak masyarakat yang pro akan batubara mendatangi massa aksi.
Hal tersebut terjadi lantaran massa aksi memaksa untuk memutarbalikkan angkutan batubara yang melintas, dimana hal yang demikian dinilai sudah melampaui kapasitas dari massa aksi, karena untuk melakukan suatu tindakan yang menimbulkan akibat hukum merupakan ranah APH, sedangkan masyarakat aksi seharusnya hanya mengawal prosesnya.
Terlebih selama belum ada keputusan terkait hal yang dimintakan, tidak diperbolehkan diambil keputusan sepihak yang berakibat hukum. Himbauan dari APH sudah diberikan kepada massa aksi terkait tenggat waktu demonstrasi, akan tetapi massa aksi tetap ingin melanjutkan aksi dengan segala risikonya.
Setelah tidak adanya titik temu antara massa aksi dan masyarakat pro batubara, dan tindakan sepihak yang dilakukan massa aksi, lalu terjadilah kericuhan/bentrok yang menyebabkan adanya korban luka-luka dari kedua belah pihak.
Bahkan video dari kejadian tersebut sudah menyebar luas, akan tetapi masyarakat pro batubara menilai video yang disebarluaskan tidak lengkap sehingga hanya menimbulkan efek negatif atau tanggapan negatif ke masyarakat pro batubara.
“Anggota aksi yang terluka itu terlebh dahulu melakukan pemukulan terhadap beberapa anggota masyarakat yang pro batubara yang mendatangi massa aksi, sehingga memantik kericuhan hingga tidak terkendali.” Ujar H dan Bd, dua orang saksi mata dilokasi kejadian.
Menurut USM, Saksi yang lain yang saat itu sedang bekerja disekitar lokasi, menyatakan yang memulai konflik adalah pihak pendemo, sembari memutar balikkan truk yang mengangkut Batubara secara paksa yang seharusnya menjadi tugas APH, baru kemudin terjadi salaing pukul dan kericuhan.