Menelisik Sejarah Kesultanan Buton, Pernah Jadi Taklukan Gajah Mada

 

 

Gentamerah.com || Kendari – Provinsi Sulawesi Tenggara,
tempat dimana Rangkaian kegiatan agenda tahunan skala Nasional yakni Hari Pers
Nasional (HPN) tahun 2022 dipusatkan, merupakan salah satu provinsi di wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang memiliki beragam kebudayaan,
adat istiadat dan yang paling menarik untuk kita ulas kali ini adalah
Kesultanan Buton.

Menurut salah satu keturunan asli Kesultanan Buton, La Ode
Abdul Zainudin Napa, yang kini juga menjabat sebagai Kepala Dinas Pemuda dan
Olahraga Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara, Kesultanan Buton adalah
salah satu kerajaan bercorak Islam di Indonesia yang berada di Sulawesi
Tenggara. Berdirinya kerajaan ini tidak lepas dari peranan orang-orang Melayu
yang datang ke wilayah Buton pada akhir abad ke-13 M.

“Ada empat tokoh melayu yang terkenal di Buton, yaitu
Sipanjongan, Sijawangkati, Simalui, dan Sitamanajo. Keempat orang asal
Semenanjung Melayu itu datang ke Buton secara terpisah bersama dengan
pengikutnya masing-masing,”Jelas pria kelahiran Buton 58 tahun silam itu.

Menurut dia, setelah melakukan interaksi yang cukup lama di
wilayah Buton, akhirnya mereka membangun sebuah desa, yang berdiri dengan
pemerintahannya masing-masing. Di sisi lain, wilayah Buton ketika itu dihuni
oleh beberapa komunitas adat, seperti Tobe-Tobe, Kamaru, Wabula, Todangan, dan
Batauga. Pada 1332, desa-desa bentukan bangsa Melayu dan komunitas-komunitas
adat itu melebur menjadi satu, sehingga berdirilah Kerajaan Buton. Raja pertama
kerajaan Buton adalah seorang perempuan, bergelar Rajaputri Wa Kaa Kaa.

Sebelum menjadi kerajaan bercorak Islam, pemerintahan di
Buton diduga kuat dipengaruhi oleh ajaran Hindu dan Budha. Diperkirakan ajaran
Hindu Budha di Buton berasal dari kerajaan Majapahit. Hal itu diperkuat oleh
keterangan dalam kitab Negarakertagama, karangan Empu Prapanca, yang
menyebutkan istilah Butuni untuk menjelaskan Pulau Buton yang ketika itu
menjadi salah satu wilayah taklukan Gadjah Mada.

Kerajaan Buton beralih menjadi kesultanan sejak masa
pemerintahan raja ke-6, yakni La Kilaponto atau Raja Murhum (1491-1537). Ada beberapa
pendapat mengenai masuk dan berkembangnya agama Islam di Buton. Pertama,
pendapat yang mengatakan penyebaran ajaran Islam di Buton dilakukan oleh
kesultanan Bone di Sulawesi Selatan.

Kedua, pendapat yang mengatakan ajaran Islam masuk ke Buton
dibawa oleh ulama dari Timur Tengah, bernama Sayid Jamaluddin al-Kubra pada
1412. Kemudian dilanjutkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman
al-Fathani berasal dari Johor, yang berhasil mengislamkan Raja Marhum. Ketiga,
pendapat yang mengatakan ajaran Islam di Buton berasal dari kesultanan Ternate,
yang dibawa oleh Sultan Zainal Abidin.

“Agama Islam berkembang sangat pesat di wilayah
kesultanan Buton, ajarannya banyak diamalkan oleh pemerintahan, maupun
masyarakatnya. Peraturan undang-undang di kesultanan Buton disebut Murtabat
Tujuh, yang sangat erat dengan tasawuf. Undang-undang ini mengatur tugas,
fungsi, dan kedudukan kesultanan secara formal,”ulasnya.

Dalam praktek hukum lanjut dia, kesultanan Buton memiliki
sistem yang sangat baik. Hukum ditegakkan secara setara bagi seluruh masyarakat
Buton tanpa pandang bulu. Siapapun yang melakukan kesalahan secara hukum, baik
itu rakyat jelata ataupun pejabat istana, akan dijatuhi hukuman yang setimpal.
“Sepanjang sejarahnya, terdapat 12 sultan Buton yang pernah dihukum karena
melanggar aturan,”ujarnya.

Kesultanan Buton membangun sebuah benteng pertahanan untuk
melindungi kerajaan dari berbagai ancaman. Benteng itu dibuat pada 1634, masa
pemerintahan Sultan La Buke. Benteng dibangun sepanjang 2.740 meter untuk
melindungi area seluas 401.900 meter persegi.

Tembok benteng memiliki ketebalan 2 meter dengan ketinggan
antara 2 sampai 8 meter. Benteng ini pun dilengkapi dengan 16 bastion atau
menara pengintai, dan 12 pintu gerbang. Lokasi benteng berada di daerah
perbukitan, kurang lebih 3 kilometer dari pantai.

Namun, muncul konflik internal di lingkungan kerajaan yang
memperlemah kekuatan kesultanan Buton. Berbagai ancaman terus menyelimuti Buton
hingga akhirnya Indonesia merdeka pada 1945. Kesultanan Buton pun masuk dalam
pemerintahan Indonesia, wilayah administrasi Provinsi Sulawesi Tenggara.

Sultan buton ke 38 Sultan Muhamad Falihi, yang berkuasa
sejak 1937-1960, Kabupaten Buton baru menyerahkan kekuasan kepada Pemerintahan
Republik Indonesia melalui perjanjian ‘Malino’ pada tahun 1958 pasca
kemerdekaan Indonesia 1945.

Kesultanan Buton benar-benar berakhir setelah Sultan Buton
Mangkat, Buton benar-benar menjadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang masuk dalam wilayah Provinsi Sulawesi Tenggara. Buton Menjadi Kabupaten
dengan Bupati pertama La Ode Abdul Halim.

“Jika berbicara Buton, banyak sejarah yang menarik yang
diungkap, mengingat Buton ada sejak Zaman Kerajaan di abad ke dua
belas,”terang pria yang selalu berpenampilan nyentrik ini.

Selain panjangnya sejarah Buton di era moderen pun,lanjut
pria kelahiran 1963 ini Kabupaten yang dikenal sampai ke Mancanegara sebagai
penghasil Aspal terbaik dunia ini juga kerap memecahkan rekor Musium Rekor
Indonesia(MuRi) di setiap event kegiatan nasional sejak tahun 2014 silam.

“Sejak 2014-2017, Kabupaten Buton selalu mencatatkan
sejarah di Musim Rekor Muri secara berturut-turut dalam kategori peserta tari
terbanyak dan unik, saat saya menjabat di Kepala Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata,”tandas pria yang akrab di sapa Udin ini.

Penulis : Nara

error: Berita Milik GNM Group
Exit mobile version