Surabaya, 5 Juni 2009 — Siang itu, langit di atas Tambakasri mendung, seolah tahu ada luka yang dalam sedang dibuka kembali. Di tengah kerumunan warga dan gemuruh suara amarah, seorang pria berusia 52 tahun digiring polisi menuju Wisma Madurasa. Namanya Samsul Arifin — pelaku pembunuhan terhadap Tatik Rahayu, seorang perempuan 33 tahun yang tinggal dan bekerja di sana.
Di balik pintu-pintu wisma yang sudah akrab dengan cerita sedih perempuan-perempuan yang menggantungkan hidup pada malam, Tatik adalah satu dari sekian banyak yang masih menyimpan tawa untuk teman-temannya. Ramah, tak banyak bicara, dan seringkali justru jadi penengah bila ada sesama penghuni berselisih. Hari itu, tawa Tatik tinggal kenangan, tergantikan air mata dan kemarahan.
Satu per satu perempuan keluar dari kamar mereka, berdiri di lorong wisma. Mata mereka menatap tajam pada sosok Samsul, yang tertunduk diam seperti menyadari bahwa tak ada kata maaf yang bisa mengembalikan nyawa. Suara makian dan tangisan bercampur menjadi satu. “Tatik bukan hanya PSK. Dia teman kami, saudari kami,” teriak salah satu dari mereka.
Polisi terus mengawal Samsul yang memperagakan 11 adegan pembunuhan, dari awal pertemuan hingga detik-detik terakhir kehidupan Tatik. Setiap gerakan terasa seperti pisau yang kembali mengiris luka.
Peristiwa itu bermula pada 5 Mei 2009. Seperti hari-hari biasanya, Tatik menjalani hidupnya dengan realitas yang keras: menjual tubuh demi menyambung napas. Hari itu, Samsul datang, membawa hasrat yang tak tertahan. Tapi Tatik sedang melayani pelanggan lain. Samsul pulang dengan kesal, tapi keesokan harinya ia kembali.
Tatik menerimanya. Satu jam berlalu, dan ketika Samsul belum juga berhenti, Tatik tetap melayani tanpa protes. Ia hanya meminta tambahan Rp 50 ribu — bukan untuk serakah, tapi karena itu memang aturannya. Permintaan sederhana itu justru memicu amarah. Pertengkaran pun terjadi. Di tengah emosi, Samsul menghunus pisau dan menghujamkannya ke perut Tatik. Darah mengucur. Tatik jatuh, berteriak meminta tolong, tetapi hidupnya pelan-pelan direnggut oleh luka dan ketakutan.
Warga sekitar datang. Samsul gagal melarikan diri dan sempat merasakan kemarahan massa sebelum akhirnya diamankan oleh polisi. Sementara itu, tubuh Tatik yang berlumuran darah dibawa ke rumah sakit. Tapi takdir berkata lain — ia menghembuskan napas terakhir karena kehabisan darah.
Kini, di Wisma Madurasa, tak hanya kamar Tatik yang kosong. Ada ruang kosong di hati para sahabatnya. Di dunia yang sering melupakan mereka, Tatik adalah seseorang. Ia punya tawa, cerita, dan mimpi — meski tak pernah sempat ia bagi pada dunia yang terlalu cepat menghakimi.
Malam-malam di wisma itu akan terus berjalan, tetapi nama Tatik akan terus hidup dalam ingatan mereka. Sebuah nyawa yang direnggut bukan karena kebencian, tapi karena dunia yang tak memberi tempat yang aman bagi perempuan-perempuan seperti dirinya.