Way Kanan— Pagi itu, matahari belum sepenuhnya terbit. Cahayanya masih malu-malu menembus celah awan tipis di langit timur. Di antara sinar yang mulai membasahi bumi, sosok tua itu tampak berjalan perlahan, memikul cangkul di bahu kirinya, dan sebuah botol bekas air mineral yang berisi minuman pelepas dahaga di tangan kanan.
Namanya Tukijan, tapi warga Kampung Argomulyo Kecamatan Banjit Kabupaten Way Kanan, Lampubng lebih akrab memanggilnya Kang Ijan. Usianya sudah melewati setengah abad. Bahunya yang mulai melengkung, punggungnya yang semakin membungkuk, dan langkahnya yang tertatih-tatih menjadi bukti bahwa waktu telah berjalan jauh bagi pria yang sejak muda menggantungkan hidup pada sawah kecil peninggalan orang tuanya.
Sawah Kang Tukijan tak luas—hanya seperempat hektar. Tapi di situlah harapannya tumbuh. Di antara lumpur, benih, dan peluh yang jatuh saban musim, ia menaruh keyakinan bahwa hasil panen akan mampu menghidupi istri dan dua cucunya yang kini masih duduk di bangku SD.
Namun pagi itu, wajah Kang Tukijan terlihat muram. Tangannya menggenggam cangkul lebih erat, seakan ingin melawan kenyataan yang terbentang di hadapannya. Sawah yang biasanya menghijau, kini tak lebih dari hamparan tanaman padi yang menguning prematur. Daun-daunnya dipenuhi bercak putih, dan bulir-bulir padi terlihat menggantung tanpa isi. Hampa. Mati sebelum waktunya.
“Aduh, padiku ini memutih… tapi tak ada isinya. Dingin sekali rasanya di hati,” gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
Saat Pranata Mangsa Tak Lagi Berlaku
Di masa mudanya, Kang Tukijan mengenal baik yang namanya Pranata Mangsa—pengetahuan turun-temurun tentang kalender tanam yang disesuaikan dengan pergerakan musim dan cuaca. Tapi kini, semua itu tinggal kenangan. “Zaman sekarang, kita mau tanam sesuai waktu, tapi airnya nggak ada,” ucapnya sembari mengusap peluh dari dahi yang sudah dipenuhi kerut.
Aliran air dari irigasi tak bisa diandalkan. “Katanya lagi direhab,” keluhnya. “Tapi entah bagian mana yang direhab, karena airnya tetap saja mati, terutama pas kita butuh-butuhnya.”
Karena air telat datang, jadwal tanam pun mundur. Akibatnya, padi yang seharusnya tumbuh di musim ideal justru ditanam di saat cuaca tak menentu dan hama bertebaran.
Hama dan Harga Pupuk Jadi Musuh Baru
Hama tak menunggu diundang. Tikus, sundep, hingga penyakit petong leher menyerang padinya bertubi-tubi. Dan karena hasil panen tahun lalu juga tak seberapa, Kang Tukijan tak mampu membeli pestisida maupun pupuk yang harganya terus meroket. “Racun hama mahal sekarang. Bisa beli satu botol saja sudah syukur,” katanya lirih.
Ia merasa seperti berperang tanpa senjata. Ladang yang dulunya sumber kehidupan kini menjadi ladang pertempuran yang tak adil. Dan Kang Tukijan—seperti banyak petani kecil lainnya—hanya bisa bertahan sekuat yang ia mampu.
“Kalau ini terus, lama-lama petani bisa habis. Anak-anak muda pun sudah ogah turun ke sawah,” katanya lagi, dengan suara parau.
Ironi Swasembada Pangan
Di sisi lain, pemerintah pusat terus menggelorakan semangat swasembada pangan. Dalam pidato-pidato resmi, pembangunan sektor pertanian ditekankan sebagai prioritas strategis. Bantuan alat pertanian, subsidi pupuk, hingga pembangunan bendungan dan sistem irigasi menjadi bagian dari agenda besar nasional.
Namun bagi Kang Tukijan, narasi besar itu terasa jauh dari sawah kecilnya di Argomulyo. Irigasi yang macet, pupuk yang mahal, dan minimnya pendampingan teknis membuatnya tak pernah benar-benar merasakan manfaat dari program-program itu.
“Kami ini petani kecil, Pak. Kadang dengar di berita katanya ada bantuan, tapi nyampainya ke sini lama sekali… atau malah gak nyampe,” ujarnya pelan, suaranya nyaris kalah oleh desiran angin pagi.
Bagi pemerintah, swasembada adalah target angka. Tapi bagi Kang Tukijan, swasembada adalah soal bisa makan dari hasil sawah sendiri, bisa menanam dengan tenang tanpa khawatir air tak datang atau hama menyerbu tanpa bisa dilawan.
Sawah yang Tak Lagi Ramah
Mei seharusnya menjadi waktu menyiapkan lahan, bukan memanen. Tapi karena jadwal yang kacau akibat irigasi mati dan musim tak bisa diprediksi, para petani seperti Kang Tukijan dipaksa melawan logika alam. Akibatnya, hasil panen tak hanya sedikit—bahkan nyaris tak ada.
“Saya tidak tahu lagi mau bagaimana,” ucapnya pelan, matanya menatap kosong pada hamparan padi yang berdiri lesu. “Ini tanah warisan orang tua saya. Tapi makin ke sini, makin terasa jauh dari harapan.”