Tangisan Sunyi dari Balik Dinding Pesantren,“Dua Hari Sekali Diperkosa Ustadz Ponpes” 

Tangisan Sunyi dari Balik Dinding Pesantren,“Dua Hari Sekali Diperkosa Ustadz Ponpes” 
Ilustrasi

Kubu Raya – Di sebuah sudut pesantren yang semestinya menjadi tempat menimba ilmu dan meneduhkan jiwa, seorang gadis belia menjalani hari-harinya dalam bisu yang menyakitkan. Setiap dua hari sekali, tubuhnya direnggut, jiwanya dicabik, dan harapannya dihancurkan oleh sosok yang ia panggil “ustaz“.

Santriwati 17 tahun, di salah satu pondok pesantren (ponpes) di Kubu Raya, Kalimantan Barat (Kalbar)  itu tak pernah berteriak. Bukan karena tak mau, tapi karena takut. Karena di balik jubah kehormatan dan gelar keagamaan sang pelaku, tersembunyi ancaman yang membelenggu lidah dan langkahnya.

Air matanya menetes diam-diam, membasahi pipi saat langit malam menyaksikan kepedihannya. Ia tak tahu kepada siapa harus bersandar. Ia tak tahu apakah besok akan kembali selamat. Dan semua itu terjadi, dua hari sekali. Dalam diam, dalam derita yang tak terucap.

Duka yang Terlambat Tersuarakan

Perlahan, kebenaran mencuat dari sela-sela keberanian seorang anak dan kasih tak terbatas dari seorang ayah. ND, ayah korban, akhirnya mendengar kisah horor dari mulut anak gadisnya sendiri, pada sebuah malam yang akan selalu ia kenang sebagai malam tergelap dalam hidupnya.

“Anak saya cerita… katanya pertama kali disetubuhi tanggal 31 Januari, jam dua subuh… Lalu terus terjadi… dua hari sekali,” tutur ND dengan suara lirih yang menahan amarah dan luka, Kamis (19/6/2025) malam.

ND mengetahui perbuatan bejat pelaku itu pada Selasa, 6 Mei 2025 lalu. Saat itu korban pertama kali bercerita tentang apa yang dialami selama ini.

Hati seorang ayah mana yang tidak hancur mendengar putrinya menjadi korban dari seseorang yang seharusnya menjadi pelindung spiritual? Air mata ND tak lagi bisa ditahan. Ia hanya seorang buruh bangunan. Tak punya kuasa, tak punya nama besar. Tapi cinta pada anaknya memberinya kekuatan untuk melawan tembok kekuasaan dan pengaruh yang melindungi pelaku.

Di Mana Tuhan Saat Itu?

Kejahatan itu tidak hanya terjadi di balik pintu kamar. Kadang di perpustakaan. Kadang di depan televisi. Bahkan pernah di kamar ibu mertua sang pelaku. Seakan setiap sudut menjadi saksi bisu dari kekejian yang terus berulang.

Korban tak hanya sekali menyebut bahwa ada gadis lain yang juga diperlakukan sama. Namun mereka belum bersuara. Mungkin masih takut. Mungkin merasa sendirian. Seperti korban utama dulu, yang sempat merasa tak akan ada yang percaya padanya.

Laporan yang Mengguncang

Pada 5 Juni 2025, sehari sebelum Iduladha—hari yang biasanya dipenuhi takbir kemenangan—ND mendatangi Polres Kubu Raya. Bukan dengan pakaian terbaik atau senyum hari raya, tapi dengan hati yang tercabik, membawa bukti dan cerita memilukan tentang anak gadisnya.

Berbekal laporan itu, pelaku berinisial NK (40), yang merupakan pengasuh dan pembina pondok pesantren di Kecamatan Sungai Kakap, ditangkap polisi.

“Sebagai orangtua, saya cuma ingin pelaku dihukum seberat-beratnya. Jangan sampai ada anak lain yang mengalami hal seperti ini,” ucap ND dengan nada lirih namun tegas.

Keadilan yang Masih Mencari Jalan

Polisi membenarkan bahwa NK telah ditahan. Namun proses hukum sedikit terhambat karena kondisi kesehatan pelaku yang menurun. Meski begitu, pihak Polres memastikan kasus tersebut  akan dituntaskan hingga keadilan ditegakkan.

“Saat ini kami sedang menangani perkara pencabulan di salah satu lembaga pendidikan agama di Kubu Raya. Pelaku sudah kita amankan dan sudah kita tahan,” kata Kapolres Kubu Raya AKBP Kadek Ary Mahardika melalui Kasubsi Penmas Polres Kubu Raya Aiptu Ade,  Jumat (20/6/2025).

Namun bagi sang gadis dan keluarganya, luka yang ditinggalkan tak akan hilang begitu saja. Trauma yang membekas tak akan sembuh hanya dengan proses hukum. Dibutuhkan waktu, dukungan, dan kasih sayang dari banyak pihak untuk mengembalikan cahaya dalam hidupnya yang sempat padam.

Suara untuk Mereka yang Masih Bungkam

Di luar sana, mungkin masih ada tangisan-tangisan lain yang belum terdengar. Masih ada anak-anak perempuan yang menyimpan luka serupa dalam diam. Kepada mereka, kisah ini adalah ajakan: untuk berani bersuara, untuk tidak lagi sendiri.

Dan kepada kita semua, kisah ini adalah tamparan: bahwa bahkan di tempat yang seharusnya paling suci pun, kejahatan bisa bersembunyi. Dan bahwa tugas kita bukan hanya percaya pada simbol agama, tapi pada nilai-nilai kemanusiaan yang sejati.

Exit mobile version