Pendidikan Kita “Tinggal Joget TikTok?”

Pendidikan Kita, Tinggal Joget TikTok?
Seno - CEO GNM

“Pendidikan kita makin aneh aja,” celoteh kawan membuka obrolan sambil menaruh gelas kopi di meja kayu yang sudah kusam, di sebuah warung nasi uduk pasar Banjit, Waykanan.

“Aneh gimana maksudnya?” timpal sahabatku menatap penasaran.

Seperti penasaranya tentang harga singkong yang sudah diatur pemerintah tapi perusahaan tidak mengikuti harga aturan.

“Kemarin, aku lihat bahkan sering menyasikan, ada guru ASN… bayangin, masih pakai seragam dinas, jam sekolah pula, eh malah asyik live TikTok. Bukan ngajar, bukan nyusun materi. Tapi ngobrol ngalor-ngidul, bahasa pun kadang tak mendidik,” ujar kawan.

“Waduh, parah itu. Murid ditinggal di kelas, gurunya malah jadi seleb dadakan. Itu bukan guru, itu artis gagal,” timpal Sahabatku langsung menggeleng.

Kami tertawa pahit. Kopi yang baru diseduh terasa getir di lidah, sama getirnya dengan dunia pendidikan hari ini.

“Lucu ya. Murid dilarang main HP di kelas, disuruh disiplin. Tapi gurunya malah kasih contoh buruk, live TikTok saat jam sekolah. Apa nggak kebalik logika pendidikan kita?,” ujar kawan yang dari tadi asyik menikmati nasi uduknya, seperti asyiknya para pengendara melwati jalan-jalan berulang. Kalau hujan menggenang, bahkan bisa untuk renang.

“Aku dengar ada wali murid bilang kecewa banget. Katanya, ‘Kami titip anak ke sekolah biar belajar, bukan ditinggal gurunya main TikTok.’ Nah lho, rakyat kecil aja lebih waras mikirnya,” sindir Seorang kawan yang ikut nimbrung menimpali.

Kayak kecewanya rakyat akan kebijakan pemerintah yang saat ini ada, tentang Blokir rekening, tentang pajak dan royalty pemutaran lagu.

Kami terdiam sejenak. Hanya asap rokok yang mengepul, seolah ikut mengeluh.

“Aku jadi mikir,” kata sahabatku pelan, “jangan-jangan nanti sekolah itu pindah ke TikTok. Nggak usah ada papan tulis, nggak usah ada kelas. Tinggal buka HP, gurunya joget-joget, murid tinggal kasih gift. Selesai sudah pendidikan kita.”

Kami semua ngakak. Tapi itu tawa getir. Tawa yang keluar karena nggak tahu harus marah atau menangis.

Aku menghela napas. “Yang bikin sedih, guru ASN itu kan digaji negara, pakai uang rakyat. Tugasnya mendidik, bukan nyari cuan instan di medsos. Kalau dibiarkan, lama-lama murid nggak percaya lagi sama guru. Habis sudah wibawa pendidikan.”

“Kalau pemerintah diam aja, berarti ikut bersalah. Jangan-jangan mereka juga sibuk scroll TikTok, makanya nggak sempat ngawasin,” kata Sahabatku sambil tertawa kecil.

Kami ikut tertawa. Tawa sinis, sambil menyesap sisa kopi.

Pendidikan kita memang sedang sakit. Sakit parah.
Dan yang bikin lebih miris, penyakit itu bukan datang dari murid, tapi dari gurunya sendiri.

Kami semua terdiam. Kopi habis. Tapi obrolan warung kopi itu masih tersisa, getir, pedas, dan penuh tanda tanya.

Aku pamit pulang, karena matahari sudah mulai menerangi jagad. Bau rendang jengkol masakan istriku sudah terbayang di benakku.

 

error: Berita Milik GNM Group
Exit mobile version

slot gacor