Lelahnya Mbah Mijan Hadapi Permainan Pupuk, Siapa Dibalik Semua Ini

Feature

Gentamerah.com || Waykanan- Terik Mentari menyengat tubuh,
taka da angin sepoy-sepoy yang menyelimut udara, matanya masih terfokus melihat
hamparan padi ditengah sawahnya. Sesekali tanganya meraih secangkir kopi yang
sudah mulai dingin.

Digubuk berukuran dua kali satu meter, tanpa dinding, beratapkan
ilalang, dengan lantai tanah, Mbah Mijan duduk sendiri, mengenakan kaos oblong
warna kuning kusam, dibberapa bagian terlihat lumpur membekas tak hilang
tercuci.

“Ngopi Le,” ajak mbah Mijan kepadaku, yang duduk tak jauh darinya,
seraya nyeruput kopinya.

Diantara dua jari tengah dan telunjuknya terjepit sebatang
rokok kretek, merk tak terkenal. “Wes ra mupuk pindo pokoke (Dah tidak bisa
tabur pupuk kedua),” ujarnya, singkat.

Guratan dikeningnya terlihat jelas menggaris. Kulit mukanya
yang kecoklatan terlihat kering, karena acap diterpa matahari. Kesedihan
terlintas jelas dari raut wajah kusamnya, umurnya yang menginjak lima puluh
enam tahun, semakin renta mengulas derita.

Padi disawah seperempat hektarnya yang seharusnya sudah
mulai ditabur pupuk untuk kali kedua, tak bisa dilakukan. Harganya mencekik
leher, karena pupuk yang bersubsidipun tak lagi didapatnya.

“Seng subsidi angel, ora kebagian (Yang subsidi susah, tidak
kebagian). Nak tuku seng ora subsidi regane edan (Kalau beli yang tidak
bersubsidi harganya menggila),” ujar dia, sambil menghisap rokok kreteknya.

Abu rokoknya yang dibiarkan memanjang, segera tabur jatuh
ketanah, dan beberapa bagian mengenai kaki tanpa alas, yang masih penuh dengan
lumpur basah berwarna coklat kehitaman. “Aku heran, tahun wingi yo ra kebagian
pupuk. Padahal omonge pemerintah kabeh petani entuk pupuk subsidi (Padahal kata
pemerintah semua petani dapat jatah pupuk subsidi). Terus ilang nangdi pupuk
kui, regane seng subsidi wae Urea Rp170 ewu per sak (Terus hilang Kemana pupuk
itu, harga yang subsidi untuk Urea sudah Rp170 per sak,” katanya.

Mbah Mijan tak pernah paham dengan harga eceran tertinggi
(HET) yang ditentukan Pemerintah, dalam benak kepalanya yang penting
mendapatkan pupuk yang terjangkau harganya. Rambutnya yang tipis dihiasi warna
putih, begitu juga dengan alis matanya yang sedikit tebal sudah hampir rata
dengan warna putih.

Disela obrolan sederhana kami, datang seorang Wanita dengan
tinggi badan sekitar 154 cm, mengenakan jilbab abu-abu, menyodorkan rantang
susun. Mbok Jum, begitu nama Wanita berumur 52 tahun, merupakan istri Mbah
Mijan.

“Eh eneng tamu tho Pak, wes langsung buka wae mangan sisan
(Ada tamu tho pak, sudah langsung dibuka aja makan sekalian,” ujar Mbok Jum,
sambil menurunkan rantang bermotif kembang-kembang warna biru tua dari
susunannya satu persatu.

Tiga rantang sudah terhidang, satu rantang berisi nasi putih
penuh,  satu rantang lagi berisi tumis
buah papaya dan satu rantang berisi tempe goreng serta terong Panjang yang
digoreng tidak terlalu garing.

Mbah Mijan segera meraih piring kaleng dari kasau atap
gubuk, yang memangs elalu disimpan ditempat itu, dua piring langsung disi nasi
dan lauknya. “Ayo le, mangan ndisek (Ayo nak makan dulu),” kata dia singkat.

Makanan sederhana itu masih membuat Mbah Mijan makan dengan
lahap, sambil mengunyah nasi, kakek bercucu empat itu masih beberapa kali
mengeluhkan tentang pupuk. Jika pupuk kedua gagal dibeli, ancaman gagal panen
akan terjadi di sawahnya.

Daun padi yang terhampar, terkadang bergoyang mengikuti arah
angin, bahkan dibeberapa bagian, daunnya mulai menguning. “Makane nak ra sido
dipupuk, yo jelas ajur panene (Makanya kalua ga jadi dipupuk jelas hancur hasil
panennya). Dong pari wes akeh seng kuning, panyakit juga mulai akeh kui (Daun
padi sudah mulau banyak menguning, hama mulai banyak),” ujarnya.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, untuk nekat mengadakan
pupuk, Mbah Mijan harus rela ambil uang rentenir. “Naka rep mupuk paling yo
njileh duit plecit meneh, rego pupuk non subsidi wae wes meh patang atus sak
sak (Kalau mau mupuk  kemungkinan pinjam
duit dari rentenir, harga pupuk non subsidi sudah hamper empat ratus ribu per
sak,” keluh Mbah Mijan, Warga Dusun Sidomulyo, Kampung Argomulyo Kecamatan
Banjit, Waykanan, Lampung.

Dari penelusuran  gentamerah.com,
harga pupuk bersubsidi dijual dengan harga tinggi melebihi HET, Poska per sak
Rp170 ribu, Urea persak 50 Kg dijual Rp135 hingga Rp140 ribu. Bahkan banyak
petani sawah yang tidak kebagian pupuk bersubsidi tersebut, sehingga  harus membeli pupuk non subsidi Urea, Rp 420
ribu per sak, pupuk NPK Phonska, Rp. 175 ribu per sak.

Rata-rata petani sawah paling banyak membutuhkan Urea dan SP36,
serta ponska. Hilangnya pupuk diperedaran menjadi keluhan tersendiri bagi
petani. 

Harga pupuk bersubsidi dan Non Subsidi sesuai harga eceran
teringgi (HET)

Pupuk Urea harga subsidinya Rp 2.250 per kg. Harga non
subsidi Rp 5.800 per kg. Selisih harga Rp 3.550. Pupuk SP-36 harga subsidinya
Rp 2.400 per kg. Harga non subsidi Rp 4.000 per kg. Selisih harga Rp 1.600. Pupuk
NPK Phonska harga subsidinya Rp 2.300 per kg. Harga non subsidi Rp 8.300 per
kg. Selisih harga Rp 6.000. Pupuk ZA harga subsidinya Rp 1.700 per kg. Harga
non subsidi Rp 4.200 per kg. Selisih Rp 2.500.

SENO 

error: Berita Milik GNM Group
Exit mobile version