Aku salut sama seorang kawan, nulis tanpa makna, rangkai
kalimat mengulang kata, kalimat atas, bingung katanya. Ini celoteh kawan
didepan warung makan, sambil Nyruput
kopi, kongko membahas hal kosong.
“Tapi punya sertifikat dan katanya lulusan sekolah
mengajarkan nulis, makanya ikut dalam gaya piranha,” jawabku sekenanya.
mengajarkan nulis, makanya ikut dalam gaya piranha,” jawabku sekenanya.
Ujar kawanku, sekarang ini yang penting sertifikat atau
ijazah, masalah skill itu belakangan, karena bentuk lembaran yang bisa
dijadikan alat dan pameran. Biarpun tentang profesinya tidak paham, ya sudah
biarkan.
ijazah, masalah skill itu belakangan, karena bentuk lembaran yang bisa
dijadikan alat dan pameran. Biarpun tentang profesinya tidak paham, ya sudah
biarkan.
Lalu aku hanya terdiam, dan meraih rokok yang masih dalam
bungkus kemasan. Tidak ingin aku menyela, ku biarkan kawan berceloteh. Seperti yang
pernah kutemui, seorang kawan yang rumahnya jauh dan akupun belum paham, dengan
gayanya yang luar biasa dengan lantang sedikit menantang, “berani gaji berapa,
aku ini sudah lulus….,?”.
bungkus kemasan. Tidak ingin aku menyela, ku biarkan kawan berceloteh. Seperti yang
pernah kutemui, seorang kawan yang rumahnya jauh dan akupun belum paham, dengan
gayanya yang luar biasa dengan lantang sedikit menantang, “berani gaji berapa,
aku ini sudah lulus….,?”.
Bahasa itu masih terus terngiang dalam benakku, apalagi saat
kutahu ceritanya sama persis seperti celoteh kawanku itu. Tapi tak kusalahkan,
ternyata inilah realita yang ada di negera kita, disini, disana sama aja, yang
penting lembaran ijazah utawa yang katanya sertifikat itu. “Anda lulusan apa,
lihat ijazahnya…?. Tesnya nanti dulu,” begitu sepenggal cerita bojoku.
kutahu ceritanya sama persis seperti celoteh kawanku itu. Tapi tak kusalahkan,
ternyata inilah realita yang ada di negera kita, disini, disana sama aja, yang
penting lembaran ijazah utawa yang katanya sertifikat itu. “Anda lulusan apa,
lihat ijazahnya…?. Tesnya nanti dulu,” begitu sepenggal cerita bojoku.
Lama aku berfikir, tentang celoteh-celoteh yang terus
didengungkan sahabat-sahabat kongkowku. Tapi entah apa yang ku pikirkan, yang
ku tahu aku hanya bisa merangkainya, mungkin juga terseok atau bahkan
acak-acakan, nilainya masing-masing, apalagi tidak punya ijazah atau
sertifikat.
didengungkan sahabat-sahabat kongkowku. Tapi entah apa yang ku pikirkan, yang
ku tahu aku hanya bisa merangkainya, mungkin juga terseok atau bahkan
acak-acakan, nilainya masing-masing, apalagi tidak punya ijazah atau
sertifikat.
Sekarang ini kalau mau ikut tren, ya harus seperti itu. Seperti inbox seorang sahabat kepadaku, sudah
agak lama, katanya kalau kopetensi yang dulu sudah tidak guna, sekarang ini
harus ikut yang ini.
agak lama, katanya kalau kopetensi yang dulu sudah tidak guna, sekarang ini
harus ikut yang ini.
Rupanya seperti undang-undang atau semacamnya setelah keluar
yang baru yang lama dianggap tidak terpakai lagi.
yang baru yang lama dianggap tidak terpakai lagi.
Itulah jika merasa besar dan berkuasa, atas sebuah profesi,
jadi bisa menelikung, menghempas bahkan mematikan. “Tidak ikut mainan,
hilanglah tanpa kesan,” ujar dan harapan mereka.
jadi bisa menelikung, menghempas bahkan mematikan. “Tidak ikut mainan,
hilanglah tanpa kesan,” ujar dan harapan mereka.
Kawanku mulai diam, ketika bahasa sudah melebar katanya
tidak lagi bermakna, dan belum terfikirkan, apakah keangkuhanya yang akan
bertahan atau pembenahan melihat kemampuan, coba nanti tinggal menunggu
kepastian. ***
