Mengulas Karatuan Melinting di Lampung

Desa Wana yang terletak di Kecamatan
Melinting Kabupaten Lampung Timur, merupakan salah satu dari tujuh desa inti
kediaman masyarakat Lampung Melinting. Begitu mamasuki desa tersebut,
pemandangan mata kita langsung tertuju ke deretan rumah-rumah panggung yang
terletak di kanan-kiri jalan raya. Rumah-rumah panggung yang terawat dengan
baik, dihuni oleh penduduk asli.

Tipe rumah dengan arsitektur
tradisional Suku Lampung yang menjadi eyecatching manakala memasuki desa
tersebut. Suasana kehidupan khas masyarakat adat Lampung Melinting masih sangat
kental  didaerah tersebut. Acara-acara
tradisi yang masih dilaksanakan masyarakat setempat, seperti upacara
perkawinan, pertemuan adat lainnya. Masyarakat Lampung Melinting termasuk ke
dalam masyarakat adat Lampung Saibatin (Lampung Peminggir, Lampung Pesisir).

Pada tahun 1990-an Pemerintah Provinsi
Lampung menetapkan Desa Tradisional Wana sebagai salah satu obyek pariwisata
budaya. Dengan mengunjungi Desa Wana kita bisa mengenali sejumlah aspek budaya
Lampung mulai dari mengenali asal-usul keratuan Melinting, rumah panggungnya,
bahasanya, kehidupan masyarakatnya, adat istiadatnnya, benda-benda budayannya,
dan juga kreasi kesenian.

Di wilayah tersebut penelusuran Tim Genta Merah untuk mengulas sejarah Keratuan Melinting. Dari penuturan tua-tua kampung,
Keratuan Melinting timbul setelah adanya beberapa fase sejarah.
Setelah runtuhnnya
kerajaan Majapahit
, sekitar awal abad ke 15, timbuhlah kerajaan Islam di Pulau
Jawa. Hasil perjuangan umat Islam yang dipelopori para wali
. dikenal
dengan julukan Walisongo atau
Sembilan  wali.

Salah satu di antara walisongo itu adalah Syarif Hidayatullah
yang kemudian dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati di Cirebon Jawa Barat
. Setelah
Syarif Hidayatullah berhasil menaklukan Jawa Barat termasuk daerah Banten, maka
banten diserahkan kepada anak
tertuanya, Maulana Hasanuddin
yang bergelar Pangeran Sabakingking. Maulana Hasanuddin
, menjadi
Sultan di Banten, ia berkuasa dan memerintah Banten dengan penuh kebijaksanaan,
adil dan membimbing rakyat Banten berdasarkan ajaran agama Islam.

Saat  itu, pada suatu malam,
Sultan Banten melihat cahaya terang yang memancar dari bumi ke langit. Sultan
mendapat firasat bahwa di Pugung ada seorang puteri yang dapat membawa
kebaikan, jika menikah dengannya. Adanya firasat tersebut, maka Sultan Banten
memutuskan untuk datang ke Lampung.

Kedatangan Sultan
Banten langsung ke Pugung. Ditempat tersebut, Sultan Sultan bertemu dengan Ratu
pugung, Ratu Dipugung atau Ratu Galuh. Sultan menceritkan maksud
kedatangannya,  bahwa dia ingin
mempersunting  putri Pugung. Ratu
Dipugung, mempunyai dua orang anak laki-laki. Anak pertama bernama Siginder
Alam Dang dan yang kedua bernama Gayung Gerunggung. Siginder Alam mempunyai
seorang anak gadis yang bernama Puteri Sinar Kaca, sedangkan Gayung Gerunggung
juga mempunyai seorang anak gadis yang bernama Puteri Sinar Alam.


Ratu Dipugung
menunjukkan cucunya,  yaitu puteri
Siginder Alam, Puteri dari Sinar Kaca. Setelah melalui proses dan kesepakatan
akhirnya Sultan pun menikahi Puteri Sinar Kaca. Beberapa lama setelah Sultan
menikahi Puteri Sinar Kaca, Sultan memutuskan untuk kembali sementara ke Banten,
 tanpa Puteri Sinar Kaca.


Belum lama Sultan
berada di Banten, ternyata  cahaya terang
yang memancar dari bumi ke langit seperti yang ia lihat sebelumnya, kembali
bersinar. Sang Sultan berkata dalam hatinya,”Jika demikian, tentu puteri
itu masih ada di Pugung (Lampung). Puteri yang dinikahi, ternyata bukanlah yang
terlihat sinarnya itu,”. Sultan memutuskan untuk kembali ke Lampung, tujuannya
bukan untuk menemui istrinya, Puteri Sinar Kaca,  tetapi akan mencari dan menikahi sesegera
mungkin puteri yang terlihat sinarnya tersebut.


Setelah tiba di
Pugung,  Sultan terus berkata kepada
kakeknya, Ratu dipugung,  bahwasanya yang
dinikahinya itu bukanlah putri yang dilihat di dalam sinar yang dilihatnya. Ratu
Dipugung lalu menunjukkan cucunya yang lain, puteri Gayung Gerunggung yang
bernama Puteri Sinar Alam. Akhirnya Sultan pun menikahinya. Beberapa lama
setelah Sultan menikahi Putri Sinar Alam, Sultan memutuskan untuk kembali lagi
sementara ke Banten tanpa Putri Sinar Alam.


Beberapa lama setelah
Sultan berada di Banten, Puteri Sinar Kaca melahirkan seorang putera yang diberi
nama Kejalo Bidin. Dan kemudian Putri Sinar Alam pun melahirkan seorang putera
yang diberi nama Kejali Ratu. Kejalo Bidin dan Kejali Ratu tumbuh dan besar di
Pugung Lampung. Saat mereka bermain di halaman rumah mereka, mereka melihat
tiga ekor burung perkutut yang hinggap di pelepah pohon kelapa. Mereka
memandang ketiga ekor burung perkutut tersebut dan berlari kepada ibu mereka untuk
bertanya.”Mengapa burung perkutut itu ada tiga ekor, biasanya hanya ada
sepasang burung perkutut,” tanya Kejalo Bidin (anak Putri Sinar Kaca).


Puteri Sinar Kaca
yang mendapt pertanyaan dari putranya menjawab, yang di sebelah kiri adalah
induknya, di tengah adalah anaknya, dan di sebelah kanannya adalah bapaknya.  Remaja yang mulai tumbuh dewasa itu mengambil
kesimpulan, bahwa merekapun memiliki seorang ayah. Putri Sinar Kaca pun tidak segera
 menjelaskan kepada keduanya. Dengan
bersikeras mereka berdua terus  memaksa
Putri Sinar Kaca untuk mejelaskan.


Mendaptkan desakan
yang terus-menerus, akhirnya Putri Sinar Kaca memberitahu kepada keduanya, bahwa
ayah mereka adalah sama yaitu Sultan Banten.  Kedua remaja yang mendaptkan keterangan
tersebut, memutuskan pergi ke Banten untuk menemui ayahnya. Melalui perairan
dan menaiki sebuah kapal, keduanya berangkat ke Banten.


Kedatangan keduanya
disambut baik oleh Sultan Banten, kendati belum mengetahui maksud dan tujuan
keduanya. Setalah bertemu Sultan Banten, salah seorang dari remaja tersebut
segera menceritkan maksud kedatangan mereka. Sultan Banten, tidak langsung
percaya pada pernyataan mereka. Sultan memutuskan untuk menoreh pedangnya di
dahi kedua bersaudara tersebut. Jika darah putih yang keluar dari dahi mereka,  maka benar mereka berdua adalah putranya.

Sang Sultan pun
mencabut pedangnya dan menorehkannya ke dahi kedua bersaudara itu. Ternyata
darah putih bercampur kemerahan keluar dari dahi Kejalo Bidin, sedangkan darah
putih keluar dari dahi Kejalo Ratu. Sang Sultan pun langsung percaya dan yakin
bahwa mereka berdua adalah putra kandungnya.


Setlah diyakini kedua
remaja itu adalah putra kandungnya, maka Sultan kemudian memberikan gelar kepada
keduanya. Kejalo Bidin diberi gelar ”MINAK KEJALO BIDIN”, sedangkan Kejalo Ratu
diberi gelar ”MINAK KEJALO RATU DARAHPUTIH”. Mereka berdualah yang menjadi
cikal bakal kebuaian Melinting dan kebuaian Ratu Darahputih. Minak Kejalo Bidin
di Melinting dan Minak Kejalo Ratu Darahputih di Kalianda.


Setelah
bertahun-tahun sejak peristiwa itu, Ratu Dipugung meminta dua orang ini
mendirikan keratuan baru di dalam keratuan Ratu Dipugung. Minak Kejalo Bidin
diminta mendirikan keratuan di Melinting (Labuhanmaringgai) dan Minak Kejalo
Ratu Darahputih di Kalianda. Keturunan Ratu Darahputih di Kalianda diantaranya
adalah Raden Intan yang menjadi pahlawan nasional asal Lampung (perkiraannya
Raden Intan keturunan yang ketujuh dari Minak Kejalo Ratu Darahputih). (
Berbagai Sumber)

error: Berita Milik GNM Group
Exit mobile version