sampai lagi, celoteh kawanku, sambil menghisap sigaretnya.
saat itu, yang jelas dibeberapa medsos berseliweran ucapan selamat ulang tahun
bagi Way Kanan. Seperti rentetannya ceritanya masih saja yang usang, hanya saja
ada beberapa polesan sedikit demi
membedakan. “Tapi bupati bayangan masih bercokol,” ujar kawan yang
kulihat memegang pisang goreng dingin.
tayangan kekalahan Ahok, kawan terus berceloteh, tentang proyek ubi yang kian
samar-samar, bahkan mulai membeku di kotak penegak hukum. Tentang siapa dibalik
layar yang mengatur segala keputusan.
yang kerap terlupakan. Seperti nasib-nasib mereka yang akhirnya tercampakan,
atau sekedar melihat jalan yang kian hancur, batunya tak terlihat lagi, apalagi
polesan aspalnya, sudah dimakan lumpur. Ini menjadi sebuah trand dari dan masa
pemimpin siapapun di daerah itu. Cerita tentang mulang tiuh, yang kemudian
hanya penghias tanpa realisasi, lalu slogannya berani, maknanya mungkin terlalu luas, atau dipersempit dengan
istilah yang sedikit tersembunyi. “Itu slogan, ga usah dicari makna dan
artinya,” kata sahabat, sambil ngunyah soto yang terasa pedas.
para penari yang kelaparan, usai menampilkan kebolehan pada festival Radin
Jambat. “Ntah, siapa yang bertanggung jawab, saat penari itu kelaparan,’ ungkap
kawan di sebuah medsos.
obrolan, tulisan tanpa berkomentar, takut salah, karena aku bukan seberani
mereka. Berceloteh tentang mereka, ya mereka, mereka yang masih senang dengan
menjilat, senang dengan ABS, ah itu sudah biasa.
yang kiprahnya masih terus menjanjikan, disemua bidang. Seperti janji-janji
pejabatnya, janji perangkatnya dan janji yang sekedar janjinya.
fatamorgana, seperti mereka yang ketakutan akan bayangannya, perjalanannya
seperti jalan menuju Pakuanratu, becek dan berkubang, dan masih banyak
kubangan-kubangan lain. “Ga usah didata dimana kubangannya, karena memenuhi
kertas aja,” celoteh kawan.
bahasa memenuhi, seperti proyek-proyek yang tanpa plang, mungkin dianggap
memenuhi tempat aja, maka hingga “18” ini masih saja cerita itu ada. Ntah,
karena sengaja, atau memang ketegasan dari sang komando yang tidak jelas,
karena kroni yang mengerjakannya.
Wah, ternyata masih
seperti dulu, jika dulu permainannya seperti itu, sampai saat ini ya itulah
yang terjadi. Sepertinya ini sudah menjadi kebudayaan. Tentang kroni, tentang
kerabat dan tentang si penjilat, dari pejabat hingga yang katanya tukang tulis
dikotakan hingga khianat. Ah ngeri..seperti dongeng dalam mimpi, walau ini
kondisi yang sudah pasti. Tinggal kita lihat nanti, siapa menumbangkan siapa,
saat ini tak usah diraba, kelak saatnya akan tiba. “Drigahayu Way Kanan ku” ***